Senin, 07 Desember 2015

Peristiwa Geger Cilegon 1888

PERISTIWA GEGER CILEGON 1888



Perlawanan bersenjata yang paling menonjol di Banten pada abad ke-19 adalah peristiwa yang dikenal dengan “Geger Cilegon”, pada tanggal 9 Juli 1888 yang dipimpin oleh para ulama. Dalam setiap pengajian/dzikiran yang diadakan di rumah-rumah atau pun di masjid, para ulama itu selalu menanamkan semangat jihad menentang penjajah kepada masyarakat.
Melalui pesantren-pesantren, para tokoh itu dengan mudah melancarkan taktik perjuangan menentang pemerintahan kolonial. Gerakan itu antara lain dipimpin oleh Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid.
Haji Abdul Karim adalah seorang ulama di desa Lampuyang, Pontang yang kegiatan sehari-harinya mengadakan pengajaran agama pada masyarakat di daerahnya. Kegiatan pengajian Kiayi ini semakin berkembang terutama setelah ia kembali dari Mekkah tahun 1872.
Haji Abdul Karim mendirikan pesantren di Tanahara, yang dalam waktu singkat mendapat banyak murid dan pengaruh terhadap penguasa pribumi, seperti bupati, penghulu kepala di Serang serta Haji R.A. Prawiranegara, pensiunan patih Serang. Begitu besar pengaruhnya di kalangan rakyat dan pejabat pemerintah sehingga dikenal pula sebagai “Kiyai Agung” bahkan dianggap sebagai “Wali Allah”.
Dalam mengadakan acara dzikiran di rumah-rumah tertentu, langgar atau masjid, Haji Abdul Karim selalu menganjurkan tentang perlunya perang sabil terhadap pemerintah kolonial yang kafir.
Ketika Kiyai Haji Abdul Karim akan ke Mekkah untuk kedua kalinya pada tanggal 13 Pebruari 1876, banyak kiyai, tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah yang datang untuk mengucapkan selamat jalan. Rakyat dari Tanahara, Tangerang dan sekitarnya berbondong-bondong menunggu di pinggir jalan yang akan dilaluinya. Khawatir akan terjadi huru-hara, pemerintah kolonial minta supaya Kiyai Haji Abdul Karim berangkat langsung menggunakan kapal laut dari Tanahara ke Batavia.
Sebagai ganti pimpinan pesantren dipercayakan kepada muridnya, Kiyai Haji Tubagus Ismail, yang juga gencar menganjurkan perlawanan kepada penjajah kafir. Anjuran itu disambut baik kiyai-kiyai terkenal seperti :
  • Kiyai Haji Wasid dari Beji,
  • Haji Abu Bakar dari Pontang,
  • Haji Syadeli dari Kaloran,
  • Haji Iskhak dari Saneja,
  • Haji Usman dari Tunggak,
  • Haji Asnawi dari Lempuyang,
  • Haji Muhammad Asyik dari Bendung.
Gerakan semacam ini timbul pula di Tanahara yang dipimpin oleh Haji Marjuki, yang dalam waktu singkat pengikutnya bertambah banyak, di samping dari Banten, juga dari daerah lain seperti Tangerang, Bogor dan Batavia.
1. Beberapa Peristiwa Yang Mendahului Geger Cilegon
Tokoh menentukan dalam peristiwa Geger Cilegon ini adalah Haji Wasid, yang pernah belajar di Mekkah pada Syekh Nawawi al-Bantani, kemudian mengajar di pesantrennya di Kampung Beji, Cilegon.
Tiga pokok ajaran yang disebarkan kepada muridnya adalah tentang Tauhid, Fiqh dan Tasawuf merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam ajaran Islam dan harus dipraktekan dalam setiap kegiatan sehari-hari.
Bersama kawan seperjuangannya: Haji Abdurahman, Haji Akib, Haji Haris, Haji Arsad Thawil, Haji Arsad Qashir dan Haji Ismail, mereka menyebarkan pokok-pokok ajaran Islam itu kepada masyarakat.
Dengan memahami tiga pokok ajaran Islam ini diharapkan, murid-muridnya, akan menjadi muslim yang baik dan taat dalam menjalankan semua perintah agama serta menjauhi segala yang dilarang-Nya.
Segala peribadatan, segala ketaatan dan segala harapan hendaknya, semuanya, ditujukan kepada Allah; bukan kepada manusia dan bukan kepada benda lainnya. Peribadatan dan penyembahan yang ditujukan kepada selain Allah adalah musrik, dan ini termasuk dosa besar, tanpa ampunan dari Allah. Tiada takut dan tiada harap; tiada benci dan tiada suka, kecuali semuanya karena Allah.
Dalam pada itu, antara tahun 1882 dan 1884 keadaan rakyat Banten khususnya di Serang dan Anyer ditimpa dua malapetaka; kelaparan dan penyakit sampar (pes) binatang ternak. Diperkirakan, hampir dua tahun hujan tidak turun, sehingga tanaman padi tidak ada yang tumbuh dan air minum pun sulit didapat.
Musim kering yang berkepanjangan ini, menyebabkan kelaparan merajalela. Tanah pertanian, yang sebagian besar berupa “tadah hujan” menjadi kering, sehingga tidak ada tumbuhan yang dapat ditanam penduduk desa. Karena kurangnya makanan ini maka banyak penduduk yang terjangkit penyakit demam yang parah; terutama sekali kaum perempuan.
Untuk menggambarkan keadaan rakyat Banten pada saat itu, PAA. Djajadiningrat, menyaksikan bahwa di pasar Kramatwatu, Cilegon, hampir sering menemukan bayi di pojokan pasar yang ditutupi selembar daun pisang, sekedar untuk menjaga dari teriknya matahari. Bayi-bayi ini sengaja ditinggalkan ibunya karena ia tidak mampu lagi memberinya makan, dan mengharapkan nanti ada yang mengambil untuk memeliharanya; atau karena ibunya tiba-tiba terkena demam dan meninggal tidak lama kemudian. Istri wedana Kramatwatu, ibunya PAA. Djajadiningrat, berhasil mengumpulkan sampai 20 orang anak yang kemudian dipeliharanya di Kawedanaan.
Karena musim kemarau ini pula maka berjangkit wabah penyakit sampar (pes) yang menyerang ternak kerbau atau kambing (1880). Penyakit hewan ini menular dengan cepat, sehingga pemerintah kolonial menginstruksikan supaya membunuh dan mengubur atau membakar semua kerbau atau kambing di suatu desa yang di sana terdapat kerbau yang berpenyakit agar jangan menular ke desa lain. Dengan demikian, kerbau yang tidak terkena penyakit pun turut dibunuh pula.
Bagi rakyat petani, ternak kerbau bukan hanya dianggap sebagai hewan peliharaan tapi juga teman/sahabat yang banyak membantu pekerjaannya di sawah, sehingga perlakuan demikian membuat tambah sedih, dianggap suatu kekejian dan kesewenang-wenangan yang membuat makin besar kebencian kepada Belanda dan anteknya; walaupun mereka tidak bisa berbuat apa-apa, pasrah dengan perlakuan itu.
Ironisnya, kerbau atau kambing yang dibunuh tentara kolonial ini, karena banyaknya, tidak sempat dikuburkan, sehingga bangkai hewan dapat ditemukan di mana-mana; dan ini mengundang datangnya penyakit baru lagi bagi rakyat desa. Tidak heran dari catatan yang ada pada bulan Agustus 1880, dari ± 210.000 penderita, tercatat lebih dari 40.000 orang di antaranya tidak dapat tertolong dan menemui ajalnya (Kartodirdjo, 1988:88).
Pemandangan di desa-desa sungguh menyedihkan, jalan-jalan sepi, banyak rumah tidak dihuni, sawah dibiarkan mengering karena tiadanya tenaga. Banyak ibu tidak dapat menyusui anaknya sehingga angka kematian anak tinggi sekali. Dari banyak rumah terdengar ratap tangis, dzikir dan do’a.
Kesedihan yang mendalam itu ditambah lagi dengan meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda (tanggal 23 Agustus 1883), ─ yang menimbulkan gelombang laut setinggi 30 meter melanda pantai barat Banten, menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, serta desa-desa Sirih, Pasauran, Tajur dan Carita. Kesemuanya merenggut korban ± 21.500 jiwa tenggelam disapu gelombang. Daerah tempat bencana alam itu luluh lantak tersapu gelombang pasang.
Musibah yang datang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya membawa dampak luas, tidak hanya di bidang sosial ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial politik dan kehidupan keagamaan. Meski pun kehidupan sosial ekonomi segera dapat dipulihkan beberapa tahun kemudian, namun suasana di kalangan rakyat penuh kegelisahan dan keresahan.
Sementara itu, pihak pemerintah kolonial melaksanakan sistem perpajakan yang baru, sehubungan dengan penghapusan pelbagai kerja wajib, seperti kerja pancen dan kerja rodi. Dalam keadaan yang sangat menyedihkan itu, pengenaan pertanggungan pajak di luar kewajaran, semakin menambah penderitaan rakyat.
Untuk menggambarkan besarnya pajak yang ditanggung rakyat Banten, setahun setelah letusan Gunung Krakatau, pajak tanah f. 125.000,- Pada tahun berikutnya, 1884, pajak tanah itu untuk seluruh negeri dinaikkan, sehingga jumlah pajak yang terkumpul jauh besar jumlahnya dari jumlah pajak tanah tahun 1972, meskipun jumlah penduduk turun ± 100.000.
Berbagai macam pajak yang dikenakan kepada penduduk negeri; dari mulai pajak tanah pertanian, pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar sampai kepada pajak jiwa ─ yang besarnya kadang-kadang di luar kemampuan dan penetapannya tidak mengenal keadaan, ditambah dengan kecurangan-kecurangan pegawai pemungut ─ menambah keresahan dan mempersubur rasa benci penduduk kepada penjajah.
Dalam keadaan penderitaan rakyat yang bertumpuk ini, banyak di antara mereka yang lari ke klenik (tahayul). Mereka lebih mempercayai dukun dan benda-benda yang dianggap keramat dari pada mohon pertolongan Allah.
Tersebutlah di desa Lebak Kelapa terdapat sebatang pohon kepuh besar yang oleh sebagian penduduk dianggap keramat, dapat memunahkan bala bencana dan meluluskan apa yang diminta asal saja memberikan sesajen bagi jin penunggu pohon itu.
Berkali-kali Haji Wasid memperingatkan penduduk, bahwa perbuatan meminta selain kepada Allah adalah termasuk syirik. Tapi bagi penduduk yang kebanyakan tidak mengerti agama, fatwanya itu tidak diindahkannya. Melihat keadaan ini, Haji Wasid tidak dapat membiarkan satu kemusyrikan ada di depan matanya tanpa berusaha mencegah. Dengan beberapa orang muridnya ditebangnya pohon berhala itu pada malam hari.
Keadaan inilah yang membawa Haji Wasid ke depan pengadilan kolonial pada tanggal 18 Nopember 1887. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden. Dendaan yang dijatuhkan kepada kiyai ini, menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri murid dan pengikutnya.
Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan ini adalah dirubuhkannya menara langgar (musholla) di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu shalat, mengganggu ketenangan “masyarakat” kerena kerasnya suara, apalagi waktu azan shalat subuh.
Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang isinya supaya shalawat, tarhim dan azan jangan dilakukan dengan suara keras, karena ‘Tuhan tidak tuli’. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda ini berbaur dengan penderitaan rakyat yang sudah tidak tertakarkan menumbuhkan perlawanan bersenjata.
2. Jalannya “Pemberontakan”
Secara kronologis, persiapan-persiapan menuju “pembe-rontakan” di Cilegon, mungkin dapat diurutkan sebagai berikut:
  • 4 Pebruari ─ 13 Maret 1888, diadakan 3 kali pertemuan di rumah H. Marjuki di Tanara dihadiri oleh para ulama dari Serang, Anyer dan Tangerang; yang kedua di Terate di rumah H. Asngari dihadiri oleh para pemuka masyarakat dari Serang dan Anyer, sedangkan pertemuan berikutnya di rumah H. Iskak di Saneja.
  • Maret ─ April 1888, pertemuan di rumah K.H. Wasid di Beji, kemudian di rumah H.M. Sadeli di Kaloran, dan berikutnya di rumah H. Marjuki di Tanara, akhirnya kembali pertemuan di rumah K.H. Wasid.
  • 23 Juni 1888 pertemuan terakhir, hadir para tokoh/ulama seperti H. Marjuki, H. Wasid dan H. Ismail serta H. Iskak. Diduga dalam pertemuan tersebut dibicarakan masalah kesediaan alat persenjataan, pembagian tugas, penggerakan pengikut, serta penyelenggaraan latihan antara lain pencak silat. Pada tanggal itu juga diperingati hari lahir pendiri tarekat adiriyah; peringatan tersebut antara lain ditandai dengan kenduri besar. Pada saat itu K.H. Wasid mengusulkan D-day pemberontakan pada tanggal 12 Juli 1888, akhirnya ditetapkan tanggal pastinya adalah 9 Juli 1888.
Koinsidensi sejarah pada pematangan situasi tersebut antara lain :
  • Akhir Juni berlangsung perhelatan besar, yakni perkawinan antara putra Bupati Pandeglang dan putri Bupati Serang, di mana banyak hadir para pejabat,
  • Awal Juli, Residen Banten, Asisten Residen Anyer disertai bawahan Eropa dan pribumi melakukan inspeksi di afdeling Anyer,
  • Adanya desas-desus munculnya naga besar pertanda akan datangnya musibah di kalangan penduduk,
  • Dalam waktu dekat K.H. Wasid akan dipanggil ke pengadilan untuk penyelesaian suatu perkara,
  • Beredarnya desas-desus larangan berdo’a dzikir, pesta dengan gamelan, tayuban, pesta perkawinan dan khitanan.
Pada hari Sabtu, tanggal 7 Juli 1888, diadakanlah pertemuan para kiyai untuk persiapan terakhir/pematangan gerakan di rumah Haji Akhia di Jombang Wetan. Hadir dalam pertemuan itu antara lain: Haji Sa’id dari Jaha, Haji Sapiuddin dari Leuwibeureum, Haji Madani dari Ciora, Haji Halim dari Cibeber, Haji Mahmud dari Tarate Udik, Haji Iskak dari Seneja, Haji Muhammad Arsad (penghulu kepala di Serang) dan Haji Tubagus Kusen (penghulu di Cilegon).
Untuk menutupi kecurigaan Belanda atas pertemuan itu diadakan suatu kenduri besar. Sekitar jam 23.00, datang Nyi Kamsidah, istri Haji Iskak, memberitahukan bahwa Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail ingin bertemu dengan para kiyai yang hadir.
Maka setelah lewat tengah malam para kiyai segera berangkat ke Saneja untuk mengadakan pertemuan kedua di rumahnya Haji Ishak. Dalam pertemuan ini hadir pula Haji Abubakar, Haji Muhiddin, Haji Asnawi, Haji Sarman dari Bengkung, dan Haji Akhmad, penghulu Tanara. Haji Ashik dari Bendung, dan kiyai-kiyai dari Trumbu, tidak hadir dalam pertemuan ini karena sudah dipastikan bahwa mereka akan memulai pemberontakan pada hari Senin tanggal 29 Syawal atau 9 Juli 1888.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Haji Wasid dan Haji Ismail pergi ke Wanasaba untuk mengadakan pembicaraan dengan murid-muridnya, di antaranya Haji Sadeli dari Kaloran. Dari sana, keduanya pergi ke Gulacir, ke rumah Haji Ismail; selesai shalat magrib dengan dikawal sejumlah muridnya Haji Wasid berangkat ke Cibeber untuk kembali mengadakan pertemuan dengan murid-muridnya yang lain.
Pertemuan itu dilangsungkan di dalam masjid ─ di luar masjid sudah berkumpul pengikut-pengikut mereka, terutama dari Arjawinangun dan Gulacir ─ yang juga dihadiri oleh Haji Burak, saudara Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani dari Beji, Kiyai Haji Abdulhalim dari Cibeber dan Nuh dari Tubuy; untuk membicarakan langkah terakhir pemberontakan.
Pada hari itu juga dikirim utusan-utusan ke berbagai jurusan; Haji Erab diutus ke Haji Mohamad Asyik, Bendung, Haji Mahmud dan Haji Alfian diutus menemui Haji Abdulrazak, Tanara, Nasaman dan Sendanglor ke Cipeundeuy menemui Kiyai Haji Sahib, Haji Abdulhalim dan Haji Abdulgani ke Tunggak menemui Haji Usman, Haji Kasiman di Citangkil dan Haji Mahmud di Terate Udik. Ketiga yang terakhir ini diperintahkan untuk mengerahkan pejuang-pejuang dari Anyer untuk segera bergerak supaya pagi-pagi sekali sudah berada siap di Cilegon.
Sementara itu, setelah pertemuan di rumah Haji Ishak, beberapa kiyai kembali lagi ke pesta di rumah Haji Akhiya, yang pada keesokan harinya, Minggu, 8 Juli 1888, diadakan arak-arakan sambil meneriakkan takbir dan kasidahan yang dimulai dari rumah Haji Akhiya di Jombang Wetan dan berakhir di rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon.
Para kiyai dan murid-murid mereka memakai pakaian putih-putih dengan ikat kepala dari kain putih pula sambil membawa pedang dan tombak. Pada malam harinya barisan bertambah panjang bergerak dari Cibeber ke arah Saneja dipimpin langsung oleh Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail ─ yang kemudian dijadikan sebagai pusat penyerangan.
Malam itu juga, dari Saneja, Haji Tubagus Ismail memimpin pengikut-pengikutnya dari Arjawinangun, Gulacir dan Cibeber bergerak menuju Cilegon untuk menyerang para pejabat pemerintah kolonial.
Pada hari Senin malam tanggal 9 Juli 1888, diadakanlah serangan umum ke Cilegon. Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Arjawinangun dan pengikutnya menyerang dari arah selatan, sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Kiyai Haji Wasid, Kiyai Haji Usman dari Tunggak, Haji Abdul Gani dan Beji dan Haji Nuriman dari Kaligandu menyerang dari arah utara.
Dengan memekikkan kalimat takbir mereka menyerbu beberapa tempat di Cilegon. Pasukan dibagi dalam beberapa kelompok: kelompok pertama dipimpin oleh Lurah Jasim, Jaro Kajuruan, menyerbu penjara untuk membebaskan para tahanan; kelompok kedua dipimpin oleh Haji Abdulgani dari Beji dan Haji Usman dari Arjawinangun menyerbu kepatihan, dan kelompok ketiga dipimpin oleh Kiyai Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Tunggak menyerang rumah Asisten Residen.
Sedangkan Haji Wasid dengan beberapa pengawalnya tetap di Jombang Wetan memonitor segala kegiatan penyerbuan (Kartodirdjo, 1984:301-303).
Dalam keadaan yang kacau itu, Henri Francois Dumas, juru tulis di kantor Asisten Residen, dapat dibunuh oleh Haji Tubagus Ismail, demikian juga Raden Purwadiningrat, ajun kolektor, Johan Hendrik Hubert Gubbels, asisten residen Anyer, Mas Kramadireja, sipir penjara Cilegon, dan Ulric Bachet, kepala penjualan garam ─ semuanya adalah orang-orang yang tidak disenangi rakyat.
Sedangkan Patih Raden Pennah, seorang pegawai negeri yang kebelanda-belandaan lolos dari kematian, karena dia sedang di Serang waktu itu. Tokoh fenomenal yang menjadi salah seorang korban, adalah Raden Tjakradiningrat, wedana Cilegon, yang menurut PPA. Djajadiningrat “tempat kediamannya tidak di dekat-dekat orang Eropah atau di dekat-dekat Ambtenar-ambtenar boemipoetra lain” (1936:55), sehingga ia termasuk “orang yang tidak berdosa” (1936:56).
Seperti yang sudah direncanakan semula, berbarengan dengan kejadian di Cilegon ini, di beberapa tempat juga meletus pemberontakan, seperti di Bojonegara, Balegendong, Krapyak, Grogol, Mancak dan Toyomerto. Di daerah Serang, pemberontakan dipimpin oleh Haji Muhammad Asyik, seorang ulama dari Bendung, Haji Muhammad Hanafiah dari Trumbu dan Haji Muhidin dari Cipeucang. Pusat-pusat kegiatan mereka ialah Bendung, Trumbu, Kubang, Kaloran dan Keganteran.
Sehari semalam kekacauan tidak dapat diatasi, Cilegon dapat dikuasai sepenuhnya oleh pasukan “pemberontak”. Tetapi seorang babu (pembantu rumah tangga) Gubbel dapat melarikan diri ke Serang membawa kabar kejadian di Cilegon itu. Maka Bupati bersama Kontrolir dengan 40 orang serdadu yang dipimpin oleh Letnan I Bartlemy berangkat ke Cilegon.
Terjadilah pertempuran hebat antara para pemberontak dengan tentara kolonial yang memang sudah terlatih baik, sehingga akhirnya kerusuhan dapat dipadamkan. Haji Wasid sebagai pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lainnya dihukum buang; Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukit Tinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi lainnya dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Menado, Ambon, dan Saparua; semua pimpinan pemberontakan yang dibuang ini ada 94 orang.
Kejadian “Geger Cilegon” itu mempunyai arti penting dalam sejarah pergerakan nasional, karena setelah kejadian itu Belanda menginstruksikan supaya semua peraturan-peraturan yang akan dikeluarkan hendaknya jangan menyinggung perasaan keagamaan rakyat jajahan. Walau pun akhirnya pemberontakan itu mengalami kegagalan secara fisik, namun sangat bermakna sebagai sebuah gambaran dari rasa ketidakpuasan dan kebencian seluruh rakyat terhadap penjajah.
Rakyat kebetulan tidak memiliki pemimpin formal untuk menyalurkan aspirasinya sehingga untuk menyalurkan ketidakpuasan itu, dalam bentuk pemberontakan, kepemimpinannya dipercayakan kepada pemimpin kharismatik yakni para kiyai dan ulama.
Dalam tahun-tahun berikutnya, bekas dan akibat pemberontakan Cilegon ini cukup mendalam di kedua belah pihak. Rakyat Banten sangat benci kepada penjajah Belanda dan pamongpraja yang menjadi kaki-tangannya; sebaliknya pihak penjajah juga menaruh kewaspadaan tinggi untuk daerah Banten dengan rakyatnya sangat militan itu.
Banyaknya pemberontakan rakyat yang dipimpin para ulama Islam ini erat juga kaitannya dengan politik keagamaan yang diterapkan kaum penjajah. Di samping mereka terlalu meng-eksploitir tanah jajahan tanpa dibatasi rasa kemanusiaan, juga pemerintah kolonial “merambah” dalam kehidupan keagamaan masyarakat; masalah yang dianggap paling mendasar dalam kehidupan manusia.
Hal ini tidak lepas dari motivasi pertama pengembaraan orang-orang Eropa, di samping untuk mencari keuntungan perdagangan juga dilandasi oleh rasa benci dan permusuhan kepada orang-orang yang beragama Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa ekspansi Portugis harus dilihat sebagai kelanjutan dari Perang Salib.
VOC, sebagai perusahaan dagang milik Belanda pun tidak lepas dari tugas penghancuran umat Islam dan penyebaran agama Kristen kepada penduduk di Nusantara (Suminto, 1985: 17). Keadaan demikian terlihat juga pada abad ke-19 dan ke-20, melalui beberapa peraturan dan pelaksanaan yang dibuat pemerintah Hindia Belanda.
Partai-partai di parlemen Belanda dapat dikelompokkan kepada partai agama dan non agama. Kedua golongan ini saling berebut mempengaruhi semua keputusan parlemen, yang selanjutnya dilaksanakan pemerintah Belanda.
Pada dasawarsa terakhir abad ke-19 kelompok non agama memperoleh kemenangan dalam parlemen. Namun pada peralihan abad ke-20 kemenangan beralih kepada kelompok agama. Dengan keadaan ini pemerintah Hindia Belanda haruslah mendukung sebanyak mungkin usaha kristenisasi yang banyak dilakukan organisasi swasta.
Dukungan terhadap kristenisasi Hindia Belanda dipertegas sejalan dengan “politik hutang budi”; yaitu kemudahan bagi organisasi zending Kristen mendirikan sekolah bagi penduduk bumiputra, untuk sedikit demi sedikit melupakan agamanya (Islam) dan kemudian beralih kepada agama Kristen.
Masalah kristenisasi di Hindia Belanda ini erat juga kaitannya dengan masalah menghadapi pemberontakan yang dilakukan umat Islam. Dengan mengkristenkan sebanyak mungkin penduduk di Nusantara maka pemberontakan akan semakin berkurang.
Karena itulah “zending Kristen harus dianggap sebagai faktor penting bagi proses penjajahan, bahkan perluasan kolonial dan ekspansi agama merupakan gejala simbiose yang saling menunjang”. Pemerintah Belanda berpendapat bahwa apabila bangsa Indonesia ini memeluk agama Kristen, yakni menjadi seagama dengan penjajahnya, maka berarti mereka tidak akan lagi membahayakan bagi pemerintahan Belanda.
Tetapi dalam kenyataannya, justru karena tekanan kegiatan missi penyebaran agama Kristen yang menggebu-gebu ini reaksi perlawanan dari rakyat Indonesia makin lebih militan lagi menentang penjajah Belanda. Sehingga orang Indonesia dalam menyebut orang-orang Belanda sebagai “setan”, “kapir landa” ─ sebutan yang di samping menggambarkan kebencian mendalam juga menganggap mereka itu adalam musuh-musuh Islam dan kaum muslimin.
Tidaklah mengherankan apabila orang Islam yang mengirimkan anaknya untuk belajar di sekolah Belanda, ataupun sekolah Jawa/Melayu yang didirikan Belanda, sering dituduh menyuruh anak-anaknya masuk agama Kristen. Maka tidak jarang seorang kiyai atau seorang guru mengaji mengeluarkan fatwa bahwa memasuki sekolah-sekolah Belanda adalah haram, atau sekurang-kurangnya menyalahi Islam.
Bahkan beredar fatwa yang menyatakan bahwa berpakaian ala Eropa ─ lebih-lebih memakai dasi, celana pantalon dan topi ala Eropa ─ dihukumi haram, dan pemakainya dikatakan kafir. Demikian juga dengan orang Islam yang bekerja menjadi pegawai di kantor pemerintah Belanda, misalnya sebagai pamongpraja, masyarakat mencemooh mereka sebagai “anjing belanda”.
Keyakinan yang memandang rendah semacam itulah yang mendasari kenapa penduduk asli Banten yang bersedia bekerja menjadi pamongpraja pada masa pemerintahan Hindia Belanda sangat sedikit. Keadaan semacam ini pun membuat pemerintah Belanda mengalami kesulitan mengangkat pejabat pamongpraja asli dari Banten yang cakap (baca: pernah belajar di sekolah Belanda).
Oleh karenanya, untuk mengisi kekosongan pegawai pamongpraja ini, pemerintah kolonial lebih banyak mengangkat pegawai yang berasal dari Priyangan, seperti dari Bogor dan Bandung. Hal demikian sering menimbulkan konflik tertentu yang saling mencurigai satu sama lain; yang pada hakekatnya berawal mungkin dari perasaan irihati para pamongpraja asli daerah Banten terhadap para pamongpraja pendatang.
Ketakutan yang didasari kecurigaan ini pula yang menyebabkan banyaknya pegawai asal Priyangan yang ikut melarikan diri ketika pasukan Jepang keluar dari Banten. Imbas dari keadaan ini masih terasa sampai pasca kemerdekaan. Rupanya, walaupun memang kebanyakan rakyat Banten bukan orang yang mempunyai pemahaman mendalam tentang keislaman, bahkan mungkin bukan termasuk orang yang taat menjalankan agamanya, namun dalam hal rasa sentimen keagamaan mereka cukup tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar