Minggu, 20 Desember 2015

Hakikat Manusia dan Potensi Pendidikan Manusia



HAKIKAT MANUSIA DAN POTENSI PENDIDIKAN MANUSIA

A.    Pengertian
Ahli psikologi menyatakan bahwa hakikat manusia adalah rohani, jiwa atau psikhe. Jasmani dan nafsu merupakan alat atau bagian dari rohani. Sifat hakikat manusia adalah ciri-ciri karakteristik yang secara prinsipiil membedakan manusia dari hewan, meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama dilihat dari segi biologisnya.
Bentuknya (misalnya orang hutan), bertulang belakang seperti manusia, berjalan tegak dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan, menyusui anaknya dan pemakan segala. Bahkan carles darwin (dengan teori evolusinya) telah berjuang menemukan bahwa manusia berasal dari primata atau kera tapi ternyata gagal karena tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai bentuk ubah dari primata atau kera.
Disebut sifat hakikat manusia karena secara haqiqi sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Karena manusia mempunyai hati yang halus dan dua pasukannya. Pertama, pasukan yang tampak yang meliputi tangan, kaki, mata dan seluruh anggota tubuh, yang mengabdi dan tunduk kepada perintah hati. Inilah yang disebut pengetahuan. Kedua, pasukan yang mempunyai dasar yang lebih halus seperti syaraf dan otak. Inilah yang disebut kemauan. Pengetahuan dan kemauan inilah yang membedakan antara manusia dengan binatang.

B.     Sifat Hakikat Manusia
      Sifat hakikat manusia menjadi bidang kajian filasafat, khususnya filasafat antropologi. Hal ini menjadi keharusan oleh karena pendidikan bukanlah sekedar soal praktek melanikan peraktek yang berlandaskan dan bertujuan. Sedangkan landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya filosofis normatif. Bersifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang kukuh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis, dan universal tentang ciri hakiki manusia. Bersifat normatif karena pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuhkembangkan sifat hakiki manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi keharusan.
      Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipiil (jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat segi biologisnya.
      Beberapa filosofi seperti Socrates menamakan manusia itu Zoon Politicon (hewan yang bermasyarakat), Max Scheller menggambar manusia sebagai Das Kranke Tier (hewan yang sakit) yang selalu gelisah dan bermasalah.1
      Manusia adalah makhluk yang lemah, tidak dapat berdiri sendiri, dengan kata lain manusia adalah makhluk sosial yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain, bukan hanya sesama manusia, melainkan dalam artian luas, hubungan dengan lingkungan,alam, dan Tuhan.
 
C. Wujud Sifat Hakikat Manusia
      Pada bagian ini akan dipaparkan wujud sifat hakikat manusia (yang tidak dimiliki oleh hewan) yang dikemukakan oleh paham eksistensialisme, dengan maksud menjadi masukan dalam membenahi konsep pendidikan, yaitu :

1. Kemampuan Menyadari Diri
     Kemampuan menyadari diri adalah kemampuan membuat jarak dengan lingkungannya berarah ganda, yaitu arah keluar dan ke dalam. Dengan arah keluar, aku memandang dan menjadikan lingkungan sebagai objek, selanjutnya aku memanipulasi kedalam lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya. Puncak aktivitas yang mengarah keluar ini dapat dipandang sebagai gejala egoisme. Dengan arah ke dalam, aku memberi status kepada lingkungan (dalam hal ini kamu, dia, mereka) sebagai subjek yang berhadapan dengan aku sebagai objek, yang isinya adalah pengabdian, pengorbanan, tenggang rasa, dan sebagainya.
    
2. Kemampuan Bereksistensi
     Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara aku dengan dirinya sebagai objek, lalu melihat objek itu sebagai sesuatu, berarti manusia dapat menembus atau menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Karena manusia memiliki kemampuan bereksistensi inilah maka pada manusia terdapat unsur kebebasan. Dengan kata lain, adanya manusia bukan “ber-ada” seperti hewan di dalam kandang dan tumbuhan-tumbuhan di dalam kebun, melainkan “meng-ada” di muka bumi.2 Adanya kemampuan bereksistensi inilah pula yang membedakan manusia sebagai makhluk human dari hewan selaku makhluk infra human, di mana hewan menjadi onderdil dari lingkungan, sedangkan manusia menjadi manajer terhadap lingkungannya.

3. Kata Hati (Conscience of Man)
     Kata hati atau conscience of man juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati, dan sebagainya. Dengan sebutan “pelita hati” atau “hati nurani” menunjukan bahwa kata hati itu adalah kemampuan pada diri manusia yang memberi penerangan tentang baik buruknya perbuatannya sebagai manusia.
     Dapat disimpulkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitan dengan moral, kata hati merupakan “petunjuk bagi moral/perbuatan”. Usaha untuk mengubah kata hati yang tumpul menjadi kata hati yang tajam disebut pendidikan kata hati (gewetan forming). Realisasinya dapat ditempuh dengan melatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi. Tujuannya agar orang memiliki keberanian moral yang didasari oleh kata hati yang tajam.

4. Moral
     Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka yang dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut etika) adalah perbuatan itu sendiri.
     Etika biasanya dibedakan dari etiket. Jika moral (etika) menujuk kepada perbuatan yang baik/benar ataukah yang salah, yang berperikemanusiaan atau yang jahat, maka etiket hanya berhubungan dengan soal sopan santun. Karena moral bertalian erat dengan keputusan kata hati, yang dalam hal ini berarti bertalian erat dengan nilai-nilai, maka seseungguhnya moral itu adalah nilai-nilai kemanusiaan.
    
5. Tanggung Jawab
     Tanggung jawab merupakan sifat kesediaan untuk menanggung akibat dari setiap perbuatan. Tanggung jawab terdiri dari tanggung jawab pada diri sendiri, tanggunng jawab kepada masyarakat, dan tanggung jawab kepada Tuhan.  Eratnya hubungan antara ketiganya itu terlihat dalam hal bahwa kadar kesediaan bertanggung jawab itu


tinggi apabila perbuatan sinkron dengan kata hati (yang dimaksud kata hati yang tajam). Iitulah sebabnya orang yang melakukan sesuatu karena paksaan (bertentangan dengan kata hati)  sering tidak bersedia untuk bertanggunng jawab atas akibat dari apa yang telah dilakukannya.

6.  Rasa Kebebasan
Bebas adalah merdeka (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan kodrat manusia. Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya berlangsung dalam keterikatan. Artinya, bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia. Seseorang mengalami rasa merndeka apabila segenap perbuatannya (moralnya) sesuai dengan apa yang dikatakan oleh kata hatinya, yaitu kata hati yang sesuai dengan tuntuatan kodrat manusia.

7. Kewajiban dan Hak
     Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan manusia, dan hak adalah segala sesuatu yang harus didapatkan oleh setiap manusia.
Tak ada hak tanpa kewajiban.  Dalam realitas kehidupan sehari-hari, umumnya hak diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban dipandang sebagai beban.  Kewajiban itu bukanlah beban melainkan suatu keniscayaan.3 Artinya selama orang menyebut dirinya sebagai manusia maka kewajiban ialah keniscayaan baginya. Jika ia mengelak dari kewajiban maka ia mengingkari kemanusiaannya (sebagai makhluk sosial).

8.  Kemampuan Menghayati Kebahagiaan
Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia meskipun tidak mudah untuk dijabarkan tetapi sulit untuk dirasakan.  Setiap orang pasti pernah merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan tidak cukup digambarakan hanya sebagai himpunan dari pengalaman-pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi kebahagiaan merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kegembiraan, kepuasan, dan sejenisnya dengan pengalaman – pengalaman pahit dan penderitan. Proses integrasi dari kesemuanya itu menghasilkan suatu bentuk penghayatan hidup yang disebut “bahagia”.
Pada saat orang menghayati kebahagiaan, aspek rasa lebih berperan daripada aspek nalar. Kesimpulan yang dapat ditarik tentang kebahagiaan ialah bahwa kebahagiaan itu tidak terletak pada keadaannya sendiri ataupun pada rangkaian prosesnya, tetapi terletak pada kesanggupan menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan mendudukan hal-hal tersebut didalam rangkaian atau ikatan tiga hal, yaitu: usaha, norma-norma, dan takdir.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar