HAKIKAT MANUSIA DAN POTENSI PENDIDIKAN MANUSIA
A. Pengertian
Ahli psikologi menyatakan bahwa hakikat
manusia adalah rohani, jiwa atau psikhe. Jasmani dan nafsu merupakan alat atau
bagian dari rohani. Sifat hakikat manusia adalah ciri-ciri karakteristik yang
secara prinsipiil membedakan manusia dari hewan, meskipun antara manusia dengan
hewan banyak kemiripan terutama dilihat dari segi biologisnya.
Bentuknya (misalnya orang hutan), bertulang belakang seperti manusia,
berjalan tegak dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan, menyusui anaknya
dan pemakan segala. Bahkan carles darwin (dengan teori evolusinya) telah
berjuang menemukan bahwa manusia berasal dari primata atau kera tapi ternyata
gagal karena tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia muncul
sebagai bentuk ubah dari primata atau kera.
Disebut sifat hakikat manusia karena secara haqiqi sifat tersebut hanya
dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Karena manusia mempunyai
hati yang halus dan dua pasukannya. Pertama, pasukan yang tampak yang meliputi
tangan, kaki, mata dan seluruh anggota tubuh, yang mengabdi dan tunduk kepada
perintah hati. Inilah yang disebut pengetahuan. Kedua, pasukan yang mempunyai
dasar yang lebih halus seperti syaraf dan otak. Inilah yang disebut kemauan.
Pengetahuan dan kemauan inilah yang membedakan antara manusia dengan binatang.
B. Sifat
Hakikat Manusia
Sifat
hakikat manusia menjadi bidang kajian filasafat, khususnya filasafat antropologi.
Hal ini menjadi keharusan oleh karena pendidikan bukanlah sekedar soal praktek melanikan peraktek
yang berlandaskan dan bertujuan. Sedangkan landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri
sifatnya filosofis
normatif. Bersifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang kukuh
diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis, dan universal
tentang ciri hakiki manusia. Bersifat normatif karena pendidikan mempunyai
tugas untuk menumbuhkembangkan sifat hakiki manusia tersebut sebagai sesuatu
yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi keharusan.
Sifat
hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara
prinsipiil (jadi bukan hanya gradual)
membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia dengan hewan banyak
kemiripan terutama jika dilihat segi biologisnya.
Beberapa
filosofi seperti Socrates menamakan manusia itu Zoon Politicon (hewan yang
bermasyarakat), Max Scheller menggambar manusia sebagai Das Kranke Tier (hewan
yang sakit) yang selalu gelisah dan bermasalah.1
Manusia
adalah makhluk yang lemah, tidak dapat berdiri sendiri, dengan kata lain
manusia adalah makhluk sosial yang saling berhubungan antara yang satu dengan
yang lain, bukan hanya sesama manusia, melainkan dalam artian luas, hubungan
dengan lingkungan,alam, dan Tuhan.
C. Wujud Sifat Hakikat
Manusia
Pada
bagian ini akan dipaparkan wujud sifat hakikat manusia (yang tidak dimiliki
oleh hewan) yang dikemukakan oleh paham eksistensialisme, dengan maksud menjadi
masukan dalam membenahi konsep pendidikan, yaitu :
1.
Kemampuan
Menyadari Diri
Kemampuan menyadari diri adalah kemampuan
membuat jarak dengan lingkungannya berarah ganda, yaitu arah keluar dan ke dalam.
Dengan arah keluar, aku memandang dan menjadikan lingkungan sebagai objek,
selanjutnya aku memanipulasi kedalam lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya.
Puncak aktivitas yang mengarah keluar ini dapat dipandang sebagai gejala egoisme.
Dengan arah ke dalam, aku memberi status kepada lingkungan (dalam hal ini kamu,
dia, mereka) sebagai subjek yang berhadapan dengan aku sebagai objek, yang
isinya adalah pengabdian, pengorbanan, tenggang rasa, dan sebagainya.
2.
Kemampuan Bereksistensi
Dengan keluar dari dirinya, dan dengan
membuat jarak antara aku dengan dirinya sebagai objek, lalu melihat objek itu
sebagai sesuatu, berarti manusia dapat menembus atau menerobos dan mengatasi
batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menempatkan diri dan menerobos
inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Karena manusia memiliki kemampuan
bereksistensi inilah maka pada manusia terdapat unsur kebebasan. Dengan kata
lain, adanya manusia bukan “ber-ada” seperti hewan di dalam kandang dan
tumbuhan-tumbuhan di dalam kebun, melainkan “meng-ada” di muka bumi.2
Adanya kemampuan bereksistensi inilah pula yang membedakan manusia sebagai
makhluk human dari hewan selaku makhluk infra human, di mana hewan menjadi
onderdil dari lingkungan, sedangkan manusia menjadi manajer terhadap
lingkungannya.
3.
Kata Hati (Conscience of Man)
Kata hati atau conscience of man juga sering disebut dengan istilah hati nurani,
lubuk hati, suara hati, pelita hati, dan sebagainya. Dengan sebutan “pelita
hati” atau “hati nurani” menunjukan bahwa kata hati itu adalah kemampuan pada
diri manusia yang memberi penerangan tentang baik buruknya perbuatannya sebagai
manusia.
Dapat disimpulkan bahwa kata hati itu
adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah
bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitan dengan moral, kata hati merupakan
“petunjuk bagi moral/perbuatan”. Usaha untuk mengubah kata hati yang tumpul
menjadi kata hati yang tajam disebut pendidikan kata hati (gewetan forming).
Realisasinya dapat ditempuh dengan melatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi.
Tujuannya agar orang memiliki keberanian moral yang didasari oleh kata hati
yang tajam.
4.
Moral
Jika
kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka
yang dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut etika) adalah perbuatan
itu sendiri.
Etika
biasanya dibedakan dari etiket. Jika moral (etika) menujuk kepada perbuatan
yang baik/benar ataukah yang salah, yang berperikemanusiaan atau yang jahat,
maka etiket hanya berhubungan dengan soal sopan santun. Karena moral bertalian
erat dengan keputusan kata hati, yang dalam hal ini berarti bertalian erat
dengan nilai-nilai, maka seseungguhnya moral itu adalah nilai-nilai
kemanusiaan.
5.
Tanggung Jawab
Tanggung jawab merupakan sifat kesediaan
untuk menanggung akibat dari setiap perbuatan. Tanggung jawab terdiri dari
tanggung jawab pada diri sendiri, tanggunng jawab kepada masyarakat, dan
tanggung jawab kepada Tuhan. Eratnya
hubungan antara ketiganya itu terlihat dalam hal bahwa kadar kesediaan
bertanggung jawab itu
tinggi
apabila perbuatan sinkron dengan kata hati (yang dimaksud kata hati yang tajam).
Iitulah sebabnya orang yang melakukan sesuatu karena paksaan (bertentangan
dengan kata hati) sering tidak bersedia
untuk bertanggunng jawab atas akibat dari apa yang telah dilakukannya.
6. Rasa Kebebasan
Bebas adalah merdeka (tidak merasa terikat oleh
sesuatu), tetapi sesuai dengan kodrat manusia. Kemerdekaan dalam arti yang
sebenarnya berlangsung dalam keterikatan. Artinya, bebas berbuat sepanjang
tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia. Seseorang mengalami rasa
merndeka apabila segenap perbuatannya (moralnya) sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh kata hatinya, yaitu kata hati yang sesuai dengan tuntuatan
kodrat manusia.
7.
Kewajiban dan Hak
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala
yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Kewajiban
adalah sesuatu yang harus dilakukan manusia, dan hak adalah segala sesuatu yang
harus didapatkan oleh setiap manusia.
Tak
ada hak tanpa kewajiban. Dalam realitas kehidupan
sehari-hari, umumnya hak diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan,
sedangkan kewajiban dipandang sebagai beban.
Kewajiban itu bukanlah beban melainkan suatu keniscayaan.3 Artinya
selama orang menyebut dirinya sebagai manusia maka kewajiban ialah keniscayaan
baginya. Jika ia mengelak dari kewajiban maka ia mengingkari kemanusiaannya
(sebagai makhluk sosial).
8. Kemampuan
Menghayati Kebahagiaan
Kebahagiaan
adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia meskipun tidak mudah
untuk dijabarkan tetapi sulit untuk dirasakan.
Setiap orang pasti pernah merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan tidak cukup
digambarakan hanya sebagai himpunan dari pengalaman-pengalaman yang
menyenangkan saja, tetapi kebahagiaan merupakan integrasi dari segenap
kesenangan, kegembiraan, kepuasan, dan sejenisnya dengan pengalaman – pengalaman
pahit dan penderitan. Proses integrasi dari kesemuanya itu menghasilkan suatu
bentuk penghayatan hidup yang disebut “bahagia”.
Pada saat orang menghayati kebahagiaan, aspek rasa lebih berperan
daripada aspek nalar. Kesimpulan yang dapat ditarik tentang kebahagiaan ialah
bahwa kebahagiaan itu tidak terletak pada keadaannya sendiri ataupun pada
rangkaian prosesnya, tetapi terletak pada kesanggupan menghayati semuanya itu
dengan keheningan jiwa, dan mendudukan hal-hal tersebut didalam rangkaian atau
ikatan tiga hal, yaitu: usaha, norma-norma, dan takdir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar