Senin, 21 Desember 2015

John Locke dan Tabula Rasa

BAB 1
PENDAHULUAN
            Dunia pendidikan di negara kita sudah mengalami perkembangan. Hal ini ditandai dengan banyaknya sekolah yang ada di wilayah negara kita dengan berbagai kualitas yang berbeda-beda. Bermacam-macam model sekolah ada di Indonesia, mulai dari sekolah yang biasa-biasa saja sampai sekolah internasional yang didirikan berkat kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah luar negeri. Banyaknya sekolah intermasional juga tidak berarti berkurangnya sekolah minim di Indonesia. Masih banyak seklah-sekolah yang minim fasilitas di dalam melaksanakan kegiatan belajarnya. Banyak sekolah-sekolah yang berdiri dengan bangunan yang tidak layak dijadikan sebagai ruang kelas. Pernah teman saya bercerita bahwa karena kondisi kelas yang idak memadai, maka kegiatan belajar dilaksanakan di makam samping sekolah. Kondisi inilah yang sangat bertolak belakang dengan situasi sekolah-sekolah internasional yang beradapat di kota besar yang berlimpah denga fasilitas.
            Banyak juga metode yang sekarang sudah mulai diterapkan dalam pembelajaran di Indonesia. Banyak metode, model dan juga pendekatan yang diciptakan untuk memperbaiki metode ceramah yang akhir-akhir ini dinilai tidak efektif. Abimanyu ( 2007 : 4) menyataan bahwa metode ceramah memiliki beberapa kelemahan, yaitu siswa dapat menjadi jenuh terutama jika guru tidak pandai menjelaskan, dapat menimbulkan verbalisme pada siswa, materi ceramah terbatas pada apa yang diingat guru, siswa yang mempunyai ketrampilan kurang dalam hal mendengarkan akan dirugikan, sisw dijejali dengan konsep yang belum tentu dapat diingat terus menerus, terkadang informasi yang disampaikan sudah ketinggalan zaman, tidak merangsang berkembangnya kreatifitas siswa, dan terjadinya interaksi satu arah, yaitu dari guru terhadap siswa.
            Menanggapi dari apa yang telah disampaikan di atas, penulis setuju dengan informasi tersebut. Menurut pengamatan dan pengalaman penulis, metode ceramah membutuhkan kreatifitas guru yang lebih besar jika dibandingkan dengan metode yang lain. Kreatifitas yang dimaksud disini adalah kreatifitas dalam menyampikan materi pembelajaran dalam bentuk ceramah tersebut. Kreatifitas dapat ditunjukkan denga menampilkan lelucon yang dapat menyegarkan suasana. Jika guru hanya sekedar menyampikan materi secara terus menerus tanpa variasi, siswa akan mudah menjadi bosan dan ujung-ujungnya akan menjadi kurang fokus dengan materi yang sedang dipelajari. Metode ceramah adalah salah satu metode yang berpusat pada guru dan bukanlah siswa. Dalam hal ini, siswa tidak akan mengalami pembelajaran yang bermakna jika hanya mendengarkan saja. Maka dari itu, ceramah menyebabkan pengetahuan tidak bertahan lama dalam pikiran siswa. Pembelajaran yang dilaksanakan dengan  metode ceramah juga tidak menjadikan siswa sebagai aktor dalam pembelajaran. Pembelajaran dengan metode ceramah akan tetap akan membuat siswa paham dengan materi yang diajarkan, hanya sifatnya tidak akan bertahan lama. Mungkin saat itu mereka paham dan akan cepat lupa.
            Dengan segala kekurangan yang ada, tidak berarti metode ini tidak mempunyai keuntungan. Abimanyu (2007 : 4) menguraikan beberapa keuntungan metod ceramah, diantaranya metode ini murah dalam artian efisien jika dilihat dari segi waktu dan biaya, dan tersedianya guru dan mudah dalam arti materi yang dapat disesuaikan dengan terbatasnya waktu. Dalam pembelajaran, metode ceramah terkadang juga dibutuhkan, namun porsinya tetap harus dibatasi dan tetap memperhatikan konstruksi pengetahuan dalam diri siswa dan perlu diingat pula bahwa peran guru adalah sebagai fasilitator dan bukan aktor.
            Banyak metode pembelajaran yang telah dikembangkan dengan tujuan memberikan pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Pembelajaran sangat erat kaitannya dengan perkembangan siswa. Dari berbagai metode pembelajaran juga sebaiknya disesuaikan dengan kondisi psikologis perkembangan siswa. Metode yang paling unggul seakalipun jika tidak diterapkan dengan benar pada kondisi yang tepat juga pada akhirnya tidak akan membawa hasil yang baik pula. Jika siswa tidak siap dengan penggunaan suatu metode, maka sama halnya metode pembelajaran tersebut tidak membawa dampak yang signifikan. Contohnya adalah penggunaan metode kooperatif yang menggharapkan siswa belajar di dalam kelompok. Bagaimana jika siswa belum mampu diajak berdiskusi dan siswa mash bersifat pasif? Maka sama halnya metode tersebut gagal untuk dilakukan. Kombinasi antara kebutuhan, kesiapan dan juga kreatifitas guru sangat mempengaruhi keberhasilan metode yang dilaksanakan di kelas.   
            Guru sebagai fasillitator dalam pembelajaran dapat saya umpamakan sebagai sutradara yang mengatur jalannya pembelajaran dan yang mempunyai arahan akan dibawa kemana pembelajaran yang dilaksanakan. Guru yang memfasilitasi siswa dalam belajar dan siswanya yang harus mengembangkan pengetahuannya, tentunya dengan bimbingan yang diberikan guru. Inilah tantangan bai guru dalam memfasilitasi kegiatan belajar siswa yang memiliki berbagai macam kemampuan, dengan kepribadian yang berbeda dan juga dengan pengetahuan awal yang berbeda demi mencapai kompetensi yang diharapkan.
            John Locke (1632 – 1704) sangat terkenal dengan konsep tabula rasa atau kertas kosong, dimana jiwa seseorang bagaikan kertas putih. Kertas putih ini kemudian akan mendapatkan coretan atau tulisan dari unsur luar. Dalam hal ini, keputusan akan berada ditangan unsur luar. Terserah kepada unsur luar akan menulisi dengan sesuatu yang berwarna merah atau putih, hijau dan sebagainya. Apakah sebenarnya teori tabula rasa itu, dan bagaimana hubungnnya dengan pembelajaran? Secara lengkapnya akan dibahas di dalam bab selanjutnya.

BAB II
ISI
            Dengan apa yang telah disampaikan dalam bagian pendahuluan, bahwa teori tabula rasa menanggap jiwa seeorang bagaikan kertas putih yang harus diisi dengan berbagai macam hal sehingga kertas tersebut berwarna dan memiliki makna. Dengan adanya hal tersebut, penulis ingin membuat sintesis dari apa yang diungkapkan oleh John Locke.
A.  Empirisme dan John Locke
John Locke adalah seorang filsuf Inggris dari pahan empirisme yang cukup terkenal. John Locke lahir pada tanggal 29 Agustus 1632 di Wrington Inggris dan meninggal pada tanggal 28 Oktober 1704. Dia dibesarkan oleh ayahnya seorang pengacara yang bekerja sebagai juru tulis hakim di Somersetshire dan menjadi kapten angkatan bersenjata di Long Parliament selama pemerintahan Raja Charles 1. Pada tahun 1646, tepatnya ketika  John Locke berusia 14 tahun, dia diterima di Westminster School. Di sekolah tersebut, selama 6 tahun ia mencurahkan segala perhatiannya pada pelajaran bahasa latin dan Yunani disamping pelajaran-pelajaran lainnya yang diberikan di tingkat sekolah menengah.
Pada tahun 1652, dia diterima di Christ Chruch College, Universitas Oxford. Di sekolah tersebut, dia mempelajari retorika bahasa, filsafat moral, ilmu ukur, fisika, bahasa latin, arab, dan yunani. Dia mendapatkan gelr sarjana muda pada tahun 1656 dan sarjana penuh pada tahun 1658. Pada yahun 1660, dia memperoleh beasiswa sebagai mahasiswa senior dan diberikan hak istimewa utuk tetap berada di Universitas tersebut untuk selama-lamanya. Dengan beasiswa tersebut, dia bekerja sebagai pembimbing untuk mata pelajaran retorika, bahsa Yunani dan filsafat.
Pada tahun 1665, dia menjadi sekretaris misi diplomatik kerajaan Inggris di Brandenburg dan pada tahun 1666 kembali lagi ke Inggris dan mempelajari ilmu kedokteran. Sejak Locke menyembuhkan salah satu duta Kerajaan Inggris, dia mulai bekerja untuk pemerintahan. Sejak itulah, pandangan–pandangan terhadap berbagai masalah mulai terangkat dan dipublikasikan. 
John locke adalah salah seorag filsuf empirise, dimana empirisme adalah sebuah aliran filsafat yang memberikan tekanan pada empiris atau pengalaman sebagai sumber pengetahuan (Susanto, 2011 : 37). Istilah empiris bersal dari kata dalam bahasa Yunani, emperia, yang berarti pengalaman inderawi. Jelas terdapat perbedaan dengan aliran rasionalisme yang sangat memeningkan rasio dalam mengembangkan pengetahuannya, dalam menentukan sesuatu dan dalam menyelesaikan masalah. Seperti yang dikemukakan oleh Descartes dalam metodenya yaitu :
1.      Tidak menerima suatupun sebagai kebenaran, keuali bila saya melihat hal itu dengan tegas dan jelas sehingga tidak ada suatu keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
2.      Pecahkan setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak mungkin bagian, sehingga tidak ada suatu keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
3.      Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah untuk diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada hal yang paling sulit dan kompleks.
4.      Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita yakin bahwa tidak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu. (Susanto, 2011 : 37).
Dengan demikian, aliran empirisme sangat bertentangan dengan aliran rasionalisme jika diliht dari segi sumber pengetahuannya. Karena John Locke adalah salah seorang penganut empirisme, maka teorinya juga berkaitan dengan empirisism atau pengalaman.
Tabula rasa atau lembaran kertas kosong atau dapat dikatakan bahwa jiwa seseorang seperti kertas kosong yang dapat diisi sehingga jiwa tersebut menjadi berwarna dan berisi. Tabula rasa menganggap bahwa otak manusia adalah sebuah penerima pasif yang memperoleh pengatahuan dari pengalaman dan diserap melalui panca indera. Berbagai gagasan sederhana dan kemudian dihubungkan atau digabungkan menjadi pemikiran yang berkaitan (faiz, 2008 : 3). Karena John Locke adalah filsuf empirisme, maka teori tabuala rasa ini sangat dekat hubungannya dengan teori pengalaman sebagai sumber pengetahuan.
B.  Tabula rasa
Mastrianni (2012) menyatakan bahwa tabula rasa atau “blank slate” telah menjadi perdebatan selama beberapa abad. Meskipun teori tabula rasa ini pertama kali muncul di zaman Yunani kuno, namun hal ini paling sering dikaitkan dengan dengan filsuf Inggris, John Locke (1632-1704). Locke mengemukakan bahwa manusia dilahirkan dengan suatu keadaan dimana tidak ada bawaan yang akan dibangun pada saat lahir. Locke menyatakan bahwa segala sesuatu yang kita pelajari dalam hidup adalah hasil dari hal-hal yang kita amati dengan menggunakan indera kita. Dia menyimpulkan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengendalikan pertumbuhan karakter mereka sendiri, meskipun tidak ada yang bisa memisahkan perkembangan ini dari identitas manusia sebagai anggota dari umat manusia.
Aristoteles (384 SM -322 SM) dalam tulisannya yang berjudul De Anima, disebutkan bahwa pikiran sebagai pikiran kosong. Lebih dari 1000 tahun kemudian, pada abad ke -11 teori tabula rasa muncul di Persia kuno dalam tulisan Ibnu Sina, seorang filsuf Persia. Ibnu Sina menyatakan bahwa pikiran saat lahir adalah batu tulis kosong dan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman dengan benda nyata dan dari pengalaman itu kemudian digunakan untuk mengembangkan konsep abstrak tentang benda-benda, dan bukan sebaliknya.
John-Jacques Rosseau (1712-1728), sebagai sesama penganut aliran empirisme juga menyatakan persetujuannya dengan teori tabula rasa. Rosseau percaya bahwa sifat manusia merupakan akibat langsung dari pengalaman dan lingkungan, yang  diberikan dalam keadaan berbeda-beda. Laki-laki juga akan mengalami perkembangan yang berbeda dengan perempuan. Pendapat ini berbeda dengan pandangan Thomas Hobbes yang mengemukakan bahwa laki-laki biasanya mempunyai kelakukan yang lebih buruk daripada wanita sehingga biasanya mereka ditempatkan di barisan terdepan oleh polisi.
Dalam Essay Concerning Human Understanding, John Locke mengingatkan kembali mengenai pentingnya pengalaman. Pada saat lahir, mereka bagaikan kertas kosong yang  kemudian diisi dengan berbagai pengalaman. Pada awalnya, manusia memulai dengan konsep-konsep yang sederhana, dan kemudian dilajutkan dengan konsep yang lebih kompleks. Hal ini juga tercantum di dalam tulisannya, yaitu :
Let us then suppose the mind to be, as we say,white paper void of all characters, wit hout any ideas. How comes it to b furnished? Whence comes it by that vast store which the busy and boundless fancy of man has painted on it with an almost endless variety? Whence has it all the materials of reason and knowledge? To this I answer, in the one word , from EXPERIECE. (Dawkins, 2009).
Tabula rasa erat kaitannya dengan pengalaman, dan dengan hal ini John Locke tidak mengakui adanya intuisi yang membangun pemahaman manusia. Segala yang diketahui oleh seorang anak hanyalah akibat dari apa yang diajarkan oleh orangtuanya. Setiap anak lahir dengan kemampuan yang sama dan setelah itu perkembangannya berdasarkan apa yang diberikan oleh orang tuanya. Teori ini tidak mengakui adanya kemampuan awal yang ada dalam setiap diri anak. Jadi, sejak lahir, seorang anak tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa, dan segala yang akan terjadi merupakan tanggung jawab penuh dari pendidiknya, entah guru atau orangtuanya. Tabula rasa juga tidak mengakui adanya kemampuan awal atau bakat awal dan diwariskan dari orangtuanya.
Berdasarkan teori tabula rasa ini, sebelum anak-anak mengenyam bangku sekolah dan bertemu dengan guru, orangtualah yang sepenuhnya bertanggungjawab terhadap apa yang akan diajarkan kepada anak. Segala yang diajarkan oleh orang tua, itulah ilmunya. Jika ilmu tersebut berasal dari bentukan dan didikan oragtuanya maka sikap anak tersebut juga akan selaras dengan apa yang diajarkan orang tua.  Jika orangtua mengajarkan tentang kebaikan dan kasih sayang,  maka terisilah pemahaman siswa tentang kebaikan. Sebaliknya jika anak tersebut berisi dengan hal-hal yang kurang baik, maka kelakuannya juga tidak akan menjadi baik.  Locke mengatakan bahwa orang tua dan pembimbing harus menjadi contoh dan memperlihatkan sifat-sifat dan kepribadian yang baik, yang meliputi kebaikan, pendidikan yang baik, dan hal-hal yang dihormati serta dapat ditiru oleh anak-anak. Seorang anak yang mencoba untuk mencontoh hal-hal baik tersebut harus diberi pujian, didorong untuk melakukan hal yang baik kembali, diperbaiki, ditegur, atau dibimbing jika perlu tetapi jangan dibebani dengan kritik yang berlebihan dan tidak berguna (mudhokhi, 2008). Locke juga menganjurkan agar tidak mengisi kepala anak-anak dengan “sampah” atau hal-hal yang tidak berguna karena mereka tidak akan memikirkan hal-hal tersebut lagi selama hidupnya. Pendidikan harus bersifat praktis, berguna, memiliki makna, menyenangkan dan anak didik harus dihormati dan diperlakukan seperti orang dewasa. Selain itu, siswa juga diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya, belajar dari pengalaman yang nantinya dia akan memperoleh berbagai kemampuan yang berguna bagi hidupnya. Tabula rasa John Locke mengatakan bahwa lebih baik belajar dari pengalaman dibandingkan belajar dari buku-buku, namun belajar dari buku juga tidak serta merta dilupakan begitu saja. Dengan pengalaman yang telah dia alami dan ada dalam hidupnya, maka kelak individu tersebut dapat menentukan langkah hidup selanjutnya dan memilih apa yang terbaik untuk dirinya.
C.  Tabula rasa dan Pembelajaran Matematika
Jiwa seseorang dianggap sebagai kertas kosong, itulah apa yang digambarkan di dalam konsep tabula rasa. Kertas itu nantinya aka diisi dengan segala hal dan menjadikannya berwarna. Tabula rasa ini juga telah mempunyai pengaruh di dalam dunia pendidikan. Terkadang dalam suatu pembelajaran, siswa diibaratkan dengan kertas putih dengan pemahaman yang masih kosong, dan kemudian guru bertugas untuk mengisinya dengan materi-materi yang akan membuat lembaran kosong itu terisi dengan materi-materi yang diberikan guru. Pengetahuan yang dimiliki siswa tergantung dari apa yang diberikan guru. Hal  yang diberikan guru akan menjadi pengalaman yang berguna bagi siswa dan akan digunakan kembali dalam membentuk pengetahuan yang akan datang.
Tabula rasa erat kaitannya dengan pengalaman, dan menurut analisis penulis, pengalaman juga mempunyai peran yang penting dalam pembentukan pengetahuan manusia. Seorang siswa juga dapat menggunakan pengalaman belajarnya yang lalu untuk mengembangkan pemikirannya yang baru. Dengan belajar, siswa aka memperoleh pengalaman berharga tentang apa yang telah dipelajari. Namun belum tentu juga dengan pembelajaran yang telah dilakukan, siswa akan mempunyai pengalaman yang berharga. Pengalaman siswa akan terbentuk jika pembelajaran itu bermakna baginya dan berkesan sehingga tidak akan mudah untuk dilupakan.
Guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran hendaknya dapat memberikan fasilitas yang dapat digunakan oleh siswa untuk membentuk pengetahuannya. Fasilitas yang diberikan adalah fasilitas dalam bentuk model pembelajaran yang digunakan guru. Guru dapat mengorganisir model pembelajaran yang  cocok, yang dapat memberikan pengalaman belajar bagi siswa dan juga pas dengan kemampuan siswa untuk melakukannya. Dalam hal ini, guru dapat menggunakan pendekatan inkuiri (penemuan) dimana dengan menemukan, pengetahuan akan bertahan lama di dalam pikiran siswa. Pengalaman yang dia alami di pembelajaran ini akan diingatnya terus dan digunakan sebagai bekal dalam memahami materi lain yang berhubungan. Jika pembelajaran yang dilakukan dan dialami tidak memberikan manfaat dan pengalaman yang baik, maka sama halnya pemelajaran yang dilakukan tidak memiliki makna yang baik dan akan mudah untuk dilupakan siswa. Jika selama mengalami pembelajaran siswa hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, maka sama halnya pembelajaran itu menjadi kurang bermakna.
Berdasarkan Ebbut dan Straker dalam (Marsigit, 2011), matematika adalah sebuah kegiatan yang hakekatnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.    Matematika adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan.
Kegiatan penemusuran pola dan hubungan dapat dilakukan dengan memberian kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan penemuan dan juga penyelidikan pola-pola untuk menentukan hubungan serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan penyelidikan dan percobaan dengan menggunakan tberbagai cara. Dalam hal ini, pengalaman memegang peranan penting dalam membantu siswa menentukan dan menemukan adanya pola yang terjadi. Ilmu yang telah diperoleh di masa lampau dapat dijadikan sebagai dasar dalam memahami materi yang akan datang.
2.    Matematika adalah kreatifitas yang memerlukan imajinasi, intuisi, dan penemuan.
Imajinasi, intuisi, dan penemuan merupakan hal-hal yang digunakan dalam menghadapi matematika. Dalam hal ini, guru diharapkan dapat mendorong inisiatif siswa  dan juga mendorong rasa ingin tahu. Menyelesaikan soal matematika juga membutuhkan intuisi. Intuisi dibutuhkan untuk mengetahui langkah apa yang kira-kita tepat digunakan untuk menyelesaikan soal tersebut. menurut analisis penulis, intuisi yang kita punya dapat memberikan penilaian apakah proses yang kita lakukan sudah tepat atau belum. Intuisi tidak memiliki pondamen, maka kita tidak tahu kapan dimulainya susunan intuisi dalam pikiran kita.
3.    Matematika adalah kegiatan problem solving.
Matematika adalah kegiatan problem solving. Dengan demikian, hal ini dapat dilakukan dengan merangsang siswa untuk melakukan pemecahan masalah matematika dengan menggunakan caranya sendiri dan tentunya dengan menggunakan bantuan dari guru.
4.    Matematika merupakan alat komunikasi.
Matematika adalah alat komunikasi dan pandangan ini daat dilakukan dengan mengenal sifat matematika, mendorong siswa membuat conth matematika, merangsang siswa menjelaskan sifat matematika, dan juga mendorong siswa membicarakan persoalan matematika.
Dengan demikian, pembelajaran matematika dengan kegiatan penbelajaran yang berpusat pada siswa (student centered).
Pengalaman merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan pengetahuan, namun menurut analisis penulis, setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan kemampuan awal di dalam pikirannya sehingga tidak dapat dikatakan jiwa manusia berupa kertas putih yang kosong. Saya percaya bahwa setiap manusia telah mendapatkan warisan yang dibawanya sejak lahir. Setiap manusia mempunyai kecederunan khas sebagai warisan yang dibawanya sejak lahir yang akan mempengaruhi kepribadiannya pada waktu dewasa. Akan tetapi, warisan genetik hanya menentukan kepribadian setiap orang. Tumbuh dan bekembangnya potensi tidak seperti garis lurus, namun ada potensi terjadi penyimpangan. Faktor genetik memang mempengaruhi keprbadian, namun tidak bersifat mutlak, masih banyak faktor –faktor lainnya. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang dijelaskan di dalam prinsip tabula rasa. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa tabulrasa meyakini pembentukan karakter melalui apa yang diberikan oleh dunia luar, dan tidak meyakini adanya kemampuan awal yang  merupakan warisan dari kedua orang tuanya karena setiap jiwa terlahir sebagai kertas putih.
Sesuai dengan apa yang telah disampaikan di atas, bahwa matematika adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan, matematika adalah kegiatan yang memerlukan imajinasi, intuisi, dan penemuan, matematika adalah kegiatan problem solving, dan matematika adalah komunikasi. Matematika jelas memerlukan intuisi, dan kita tidak pernah tahu kapan berlangsungnya intuisi di dalam pikiran kita, entah sejak lahir, atau kapan. Intuisi tidak memiliki pondamen, sehingga kita tidak pernah tahu kapan ada dan dimulainya di dalam pikiran kita. Dengan demikian, tidak benar secara sepenuhnya jika kita mengatakan  bahwa manusia lahir sebagai kertas putih yang kosong. Teori tabula rasa John Locke juga ternyata tidak mengakui adanya intuisi, karena dia kemampuan yang ada di dalam diri manusia adalah goresan pena dari para pengisinya.
Saya sempat berfikir, bagaimana guru secara terus menerus menganggap siswa sebagai lembaran kosong yang harus diisi dengan pengetahuan-pengetahuan? Bagaimana jika suatu saat bejana itu penuh dan pecah? Bagaimana jika pengetahuan yang dimiliki guru tidak cukup memadai dan bukankah sumber pembelajaran itu tidak selamanya berasal dari guru, mengingat posisi guru hanyalah sebagai fasilitator. Siswa yang satu juga bisa menjadi sumber belajar bagi siswa yang lain. Jika menemukan suatu kesulitan, tidak harus seorang siswa itu bertanya langsung kepada guru, tetapi bisa juga bertanya kepada teman yang lain terlebih dahulu dan terkadang penjelasan teman lebih mudah dipahami daripada penjelasan guru sendiri.  Banyak buku pelajaran, LKS dan sumber belajar dan media pembelajaran yang dapat digunakan sebagai sumber pembelajaran yang baik. Semakin banyak sumber yang ada, maka semakin banyak hal baru yang dapat diperoleh. Guru bukanlah satu-satunya sumber pembelajaran yang tersedia di kelas. Pembelajaran akan menjadi aktif dan hidup jika semua elemen yang ada di dalamnya ikut berperan aktif.
Tabula rasa ini membawa pengaruh yang cukup besar dalam sistem pembelajaran konvensional. Dalam praktiknya di dalam pembelajaran konvensional, guru terlalu terlihat aktif di dalam pembelajaran. Dalam hal ini, siswa memang tidak pasif secara mutlak, tetapi aktivitas siswa yang timbul sangat sedikit sekali, yaitu hanya terbatas pada mendengarkan, mencatat, dan menjawab pertanyaan dari guru. Kegiatan para siswa hanya terbatas terhadap apa yang diperintahkan guru dan cara yang ditetapkan guru.
Tabula rasa tidak selamanya merupakan paham yang salah, karena merupakan pola pikir yang masih konvesional. Walaupun terdapat paham yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan pendidikan masa kini, namun pembelajaran dengan berdasarkan pengalaman masih dapat diterapkan dengan baik. Pembelajaran yang bermakna memang diperlukan di dalam pembelajaran. Pembelajaran yang bermakna akan tinggal dengan lama di dalam pikiran siswa. Pikiran siswa bukan sepenuhnya kertas kosong yang harus diisi, melainkan kertas yang sudah terisi dengan pengatahuan awal yang berbeda-beda, dan dengan pembelajaran akan menambah warna-warna yang terdapat di dalam kertas tersebut.
Tabula rasa erat dengan pengalaman, dan pengalaman itu membantu seseorang untuk memahami pengetahuan yang baru. Jika hal ini dikaitkan dengan konsep tabula rasa yang menganggap jiwa siswa bagikan kertas kosong, bagaimana dengan pengetahuan awal yang sudah diterima pada kelas sebelumnya. Sudah tentu pasti mereka telah mempunyai pengalaman belajar di kelas sebelumnya. Dengan demikian, tampaknya tabula rasa John Locke mengalami sedikit kontradiksi di dalam penerapannya di dalam dunia pendidikan.
                                                                      BAB III
KESIMPULAN
Tabula rasa menganngap pikiran manusia bagaikan kertas putih yang nantinya akan diisi dan menjadi berwarna.  Tabula rasa adalah salah satu cabang dari aliran empirisme yang mendasarkan teorinya berdasarkan pengalaman. Dengan demikian, tabula rasa erat dengan pengalaman. Jika dikaitkan dengan proses pembelajaran di dalam kelas, pengalaman belajar juga mengambil peran penting dalam terbentuknya pemahaman siswa. Pembelajaran yang baik juga pembelajaran yang memberikan pengalaman bagi siswa. Pengalaman yang baik akan menjadikan materi yang dipelajari juga akan bertahan lama dalam diri siswa.
Tabula rasa tidak dapat dipercaya secara penuh jika diterapkan di dalam pembelajaran, karena tabula rasa masih memegang konsep bahwa pikiran siswa adalah lembaran kosong yang dapat diisi dengan materi-materi dari guru. Dalam hal ini, peran guru menjadi lebih aktif di kelas, dan siswa hanya mendengarkan, mencatat, dan menjawab pertanyaan dari guru. Peran siswa menjadi lebih sedikit dan tidak menjadi aktor di dalam pembelajaran. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjadi aktor di dalam pembelajaran dan diharapkan pembelajaran itu akan membawa sesuatu yang bermakna.
Terdapat sifat yang masih kontradiksi dalam konsep tabula rasa. Tabula rasa mementingkan pengalaman sebagai faktor pembentuk dari pengetahuan siswa. Jika dihubungkan dengan tabula rasa dimana pikiran siswa adalah kertas putih kosong, bagaimana dengan pengalaman-pengalaman yang sudah diterima sebelumnya?  
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Soli. 2007. Metode Pembelajaran yang Lebih Berpusat Pada Guru.
Dawkins, Richard, et.al. 2009. John Locke Mind as a Tabula Rasa. Diakses dari http://www.age-of-the-sage.org/philosophy/john_locke_tabula_rasa.html. Diakses pada tanggal 27 November 2012.
Mudhokhi, faiz. 2008. Paradigma Pendidikan John Locke dan Robert Owen. Diakses dari http://faizperjuangan.wordpress.com/2008/02/12/paradigma-pendidikan-john-locke-dan-robert-owen-sebuah-tugas-kuliah/ pada tanggal 27 November 2012.
Marsigit,M.A. 2011. Elegi Pemberontakan Matematika 9 : School Mathematics. Diakses dari http://powermathematics.blogspot.com/search?updated-min=2011-01-01T00:00:00%2B07:00&updated-max=2012-01-01T00:00:00%2B07:00&max-results=50 tanggal 27 November 2012.
Mastrianni, Steve. 2012. Tabula Rasa – Reductio Ad Absurdum. Diakses dari
Susanto. 2011. Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta : Bumi Aksara.
http://id.wikipedia.org/wiki/John_Locke diakses pada tanggal 26 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar