BAB
1
PENDAHULUAN
Dunia
pendidikan di negara kita sudah mengalami perkembangan. Hal ini ditandai dengan
banyaknya sekolah yang ada di wilayah negara kita dengan berbagai kualitas yang
berbeda-beda. Bermacam-macam model sekolah ada di Indonesia, mulai dari sekolah
yang biasa-biasa saja sampai sekolah internasional yang didirikan berkat
kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah luar negeri. Banyaknya
sekolah intermasional juga tidak berarti berkurangnya sekolah minim di
Indonesia. Masih banyak seklah-sekolah yang minim fasilitas di dalam
melaksanakan kegiatan belajarnya. Banyak sekolah-sekolah yang berdiri dengan
bangunan yang tidak layak dijadikan sebagai ruang kelas. Pernah teman saya
bercerita bahwa karena kondisi kelas yang idak memadai, maka kegiatan belajar
dilaksanakan di makam samping sekolah. Kondisi inilah yang sangat bertolak
belakang dengan situasi sekolah-sekolah internasional yang beradapat di kota
besar yang berlimpah denga fasilitas.
Banyak
juga metode yang sekarang sudah mulai diterapkan dalam pembelajaran di
Indonesia. Banyak metode, model dan juga pendekatan yang diciptakan untuk
memperbaiki metode ceramah yang akhir-akhir ini dinilai tidak efektif. Abimanyu
( 2007 : 4) menyataan bahwa metode ceramah memiliki beberapa kelemahan, yaitu
siswa dapat menjadi jenuh terutama jika guru tidak pandai menjelaskan, dapat
menimbulkan verbalisme pada siswa, materi ceramah terbatas pada apa yang
diingat guru, siswa yang mempunyai ketrampilan kurang dalam hal mendengarkan
akan dirugikan, sisw dijejali dengan konsep yang belum tentu dapat diingat
terus menerus, terkadang informasi yang disampaikan sudah ketinggalan zaman,
tidak merangsang berkembangnya kreatifitas siswa, dan terjadinya interaksi satu
arah, yaitu dari guru terhadap siswa.
Menanggapi
dari apa yang telah disampaikan di atas, penulis setuju dengan informasi
tersebut. Menurut pengamatan dan pengalaman penulis, metode ceramah membutuhkan
kreatifitas guru yang lebih besar jika dibandingkan dengan metode yang lain.
Kreatifitas yang dimaksud disini adalah kreatifitas dalam menyampikan materi
pembelajaran dalam bentuk ceramah tersebut. Kreatifitas dapat ditunjukkan denga
menampilkan lelucon yang dapat menyegarkan suasana. Jika guru hanya sekedar
menyampikan materi secara terus menerus tanpa variasi, siswa akan mudah menjadi
bosan dan ujung-ujungnya akan menjadi kurang fokus dengan materi yang sedang
dipelajari. Metode ceramah adalah salah satu metode yang berpusat pada guru dan
bukanlah siswa. Dalam hal ini, siswa tidak akan mengalami pembelajaran yang
bermakna jika hanya mendengarkan saja. Maka dari itu, ceramah menyebabkan
pengetahuan tidak bertahan lama dalam pikiran siswa. Pembelajaran yang
dilaksanakan dengan metode ceramah juga
tidak menjadikan siswa sebagai aktor dalam pembelajaran. Pembelajaran dengan
metode ceramah akan tetap akan membuat siswa paham dengan materi yang
diajarkan, hanya sifatnya tidak akan bertahan lama. Mungkin saat itu mereka
paham dan akan cepat lupa.
Dengan
segala kekurangan yang ada, tidak berarti metode ini tidak mempunyai
keuntungan. Abimanyu (2007 : 4) menguraikan beberapa keuntungan metod ceramah,
diantaranya metode ini murah dalam artian efisien jika dilihat dari segi waktu
dan biaya, dan tersedianya guru dan mudah dalam arti materi yang dapat
disesuaikan dengan terbatasnya waktu. Dalam pembelajaran, metode ceramah
terkadang juga dibutuhkan, namun porsinya tetap harus dibatasi dan tetap
memperhatikan konstruksi pengetahuan dalam diri siswa dan perlu diingat pula
bahwa peran guru adalah sebagai fasilitator dan bukan aktor.
Banyak
metode pembelajaran yang telah dikembangkan dengan tujuan memberikan
pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Pembelajaran sangat erat kaitannya
dengan perkembangan siswa. Dari berbagai metode pembelajaran juga sebaiknya
disesuaikan dengan kondisi psikologis perkembangan siswa. Metode yang paling
unggul seakalipun jika tidak diterapkan dengan benar pada kondisi yang tepat
juga pada akhirnya tidak akan membawa hasil yang baik pula. Jika siswa tidak
siap dengan penggunaan suatu metode, maka sama halnya metode pembelajaran
tersebut tidak membawa dampak yang signifikan. Contohnya adalah penggunaan
metode kooperatif yang menggharapkan siswa belajar di dalam kelompok. Bagaimana
jika siswa belum mampu diajak berdiskusi dan siswa mash bersifat pasif? Maka
sama halnya metode tersebut gagal untuk dilakukan. Kombinasi antara kebutuhan,
kesiapan dan juga kreatifitas guru sangat mempengaruhi keberhasilan metode yang
dilaksanakan di kelas.
Guru
sebagai fasillitator dalam pembelajaran dapat saya umpamakan sebagai sutradara
yang mengatur jalannya pembelajaran dan yang mempunyai arahan akan dibawa
kemana pembelajaran yang dilaksanakan. Guru yang memfasilitasi siswa dalam
belajar dan siswanya yang harus mengembangkan pengetahuannya, tentunya dengan
bimbingan yang diberikan guru. Inilah tantangan bai guru dalam memfasilitasi
kegiatan belajar siswa yang memiliki berbagai macam kemampuan, dengan
kepribadian yang berbeda dan juga dengan pengetahuan awal yang berbeda demi
mencapai kompetensi yang diharapkan.
John
Locke (1632 – 1704) sangat terkenal dengan konsep tabula rasa atau kertas
kosong, dimana jiwa seseorang bagaikan kertas putih. Kertas putih ini kemudian
akan mendapatkan coretan atau tulisan dari unsur luar. Dalam hal ini, keputusan
akan berada ditangan unsur luar. Terserah kepada unsur luar akan menulisi
dengan sesuatu yang berwarna merah atau putih, hijau dan sebagainya. Apakah
sebenarnya teori tabula rasa itu, dan bagaimana hubungnnya dengan pembelajaran?
Secara lengkapnya akan dibahas di dalam bab selanjutnya.
BAB
II
ISI
Dengan
apa yang telah disampaikan dalam bagian pendahuluan, bahwa teori tabula rasa
menanggap jiwa seeorang bagaikan kertas putih yang harus diisi dengan berbagai
macam hal sehingga kertas tersebut berwarna dan memiliki makna. Dengan adanya
hal tersebut, penulis ingin membuat sintesis dari apa yang diungkapkan oleh
John Locke.
A. Empirisme dan John Locke
John
Locke adalah seorang filsuf Inggris dari pahan empirisme yang cukup terkenal.
John Locke lahir pada tanggal 29 Agustus 1632 di Wrington Inggris dan meninggal
pada tanggal 28 Oktober 1704. Dia dibesarkan oleh ayahnya seorang pengacara
yang bekerja sebagai juru tulis hakim di Somersetshire dan menjadi kapten
angkatan bersenjata di Long Parliament selama pemerintahan Raja Charles 1. Pada
tahun 1646, tepatnya ketika John Locke
berusia 14 tahun, dia diterima di Westminster School. Di sekolah tersebut,
selama 6 tahun ia mencurahkan segala perhatiannya pada pelajaran bahasa latin
dan Yunani disamping pelajaran-pelajaran lainnya yang diberikan di tingkat
sekolah menengah.
Pada
tahun 1652, dia diterima di Christ Chruch College, Universitas Oxford. Di
sekolah tersebut, dia mempelajari retorika bahasa, filsafat moral, ilmu ukur,
fisika, bahasa latin, arab, dan yunani. Dia mendapatkan gelr sarjana muda pada
tahun 1656 dan sarjana penuh pada tahun 1658. Pada yahun 1660, dia memperoleh
beasiswa sebagai mahasiswa senior dan diberikan hak istimewa utuk tetap berada
di Universitas tersebut untuk selama-lamanya. Dengan beasiswa tersebut, dia
bekerja sebagai pembimbing untuk mata pelajaran retorika, bahsa Yunani dan
filsafat.
Pada
tahun 1665, dia menjadi sekretaris misi diplomatik kerajaan Inggris di Brandenburg
dan pada tahun 1666 kembali lagi ke Inggris dan mempelajari ilmu kedokteran.
Sejak Locke menyembuhkan salah satu duta Kerajaan Inggris, dia mulai bekerja untuk
pemerintahan. Sejak itulah, pandangan–pandangan terhadap berbagai masalah mulai
terangkat dan dipublikasikan.
John
locke adalah salah seorag filsuf empirise, dimana empirisme adalah sebuah
aliran filsafat yang memberikan tekanan pada empiris atau pengalaman sebagai
sumber pengetahuan (Susanto, 2011 : 37). Istilah empiris bersal dari kata dalam
bahasa Yunani, emperia, yang berarti
pengalaman inderawi. Jelas terdapat perbedaan dengan aliran rasionalisme yang
sangat memeningkan rasio dalam mengembangkan pengetahuannya, dalam menentukan
sesuatu dan dalam menyelesaikan masalah. Seperti yang dikemukakan oleh
Descartes dalam metodenya yaitu :
1. Tidak
menerima suatupun sebagai kebenaran, keuali bila saya melihat hal itu dengan
tegas dan jelas sehingga tidak ada suatu keraguan apapun yang mampu
merobohkannya.
2. Pecahkan
setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak mungkin bagian, sehingga tidak ada
suatu keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
3. Bimbinglah
pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah untuk
diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada hal yang paling sulit dan
kompleks.
4. Dalam
proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat
perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang
menyeluruh, sehingga kita yakin bahwa tidak ada satu pun yang mengabaikan atau
ketinggalan dalam penjelajahan itu. (Susanto, 2011 : 37).
Dengan
demikian, aliran empirisme sangat bertentangan dengan aliran rasionalisme jika
diliht dari segi sumber pengetahuannya. Karena John Locke adalah salah seorang
penganut empirisme, maka teorinya juga berkaitan dengan empirisism atau
pengalaman.
Tabula
rasa atau lembaran kertas kosong atau dapat dikatakan bahwa jiwa seseorang
seperti kertas kosong yang dapat diisi sehingga jiwa tersebut menjadi berwarna
dan berisi. Tabula rasa menganggap bahwa otak manusia adalah sebuah penerima
pasif yang memperoleh pengatahuan dari pengalaman dan diserap melalui panca
indera. Berbagai gagasan sederhana dan kemudian dihubungkan atau digabungkan
menjadi pemikiran yang berkaitan (faiz, 2008 : 3). Karena John Locke adalah
filsuf empirisme, maka teori tabuala rasa ini sangat dekat hubungannya dengan
teori pengalaman sebagai sumber pengetahuan.
B. Tabula rasa
Mastrianni
(2012) menyatakan bahwa tabula rasa atau “blank slate” telah menjadi perdebatan
selama beberapa abad. Meskipun teori tabula rasa ini pertama kali muncul di
zaman Yunani kuno, namun hal ini paling sering dikaitkan dengan dengan filsuf
Inggris, John Locke (1632-1704). Locke mengemukakan bahwa manusia dilahirkan
dengan suatu keadaan dimana tidak ada bawaan yang akan dibangun pada saat
lahir. Locke menyatakan bahwa segala sesuatu yang kita pelajari dalam hidup
adalah hasil dari hal-hal yang kita amati dengan menggunakan indera kita. Dia
menyimpulkan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengendalikan pertumbuhan
karakter mereka sendiri, meskipun tidak ada yang bisa memisahkan perkembangan
ini dari identitas manusia sebagai anggota dari umat manusia.
Aristoteles
(384 SM -322 SM) dalam tulisannya yang berjudul De Anima, disebutkan bahwa
pikiran sebagai pikiran kosong. Lebih dari 1000 tahun kemudian, pada abad ke
-11 teori tabula rasa muncul di Persia kuno dalam tulisan Ibnu Sina, seorang
filsuf Persia. Ibnu Sina menyatakan bahwa pikiran saat lahir adalah batu tulis
kosong dan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman dengan benda nyata dan
dari pengalaman itu kemudian digunakan untuk mengembangkan konsep abstrak
tentang benda-benda, dan bukan sebaliknya.
John-Jacques
Rosseau (1712-1728), sebagai sesama penganut aliran empirisme juga menyatakan
persetujuannya dengan teori tabula rasa. Rosseau percaya bahwa sifat manusia
merupakan akibat langsung dari pengalaman dan lingkungan, yang diberikan dalam keadaan berbeda-beda.
Laki-laki juga akan mengalami perkembangan yang berbeda dengan perempuan.
Pendapat ini berbeda dengan pandangan Thomas Hobbes yang mengemukakan bahwa
laki-laki biasanya mempunyai kelakukan yang lebih buruk daripada wanita
sehingga biasanya mereka ditempatkan di barisan terdepan oleh polisi.
Dalam
Essay Concerning Human Understanding,
John Locke mengingatkan kembali mengenai pentingnya pengalaman. Pada saat
lahir, mereka bagaikan kertas kosong yang
kemudian diisi dengan berbagai pengalaman. Pada awalnya, manusia memulai
dengan konsep-konsep yang sederhana, dan kemudian dilajutkan dengan konsep yang
lebih kompleks. Hal ini juga tercantum di dalam tulisannya, yaitu :
“Let
us then suppose the mind to be, as we say,white paper void of all characters,
wit hout any ideas. How comes it to b furnished? Whence comes it by that vast
store which the busy and boundless fancy of man has painted on it with an
almost endless variety? Whence has it all the materials of reason and
knowledge? To this I answer, in the one word , from EXPERIECE. (Dawkins,
2009).
Tabula
rasa erat kaitannya dengan pengalaman, dan dengan hal ini John Locke tidak
mengakui adanya intuisi yang membangun pemahaman manusia. Segala yang diketahui
oleh seorang anak hanyalah akibat dari apa yang diajarkan oleh orangtuanya. Setiap
anak lahir dengan kemampuan yang sama dan setelah itu perkembangannya
berdasarkan apa yang diberikan oleh orang tuanya. Teori ini tidak mengakui
adanya kemampuan awal yang ada dalam setiap diri anak. Jadi, sejak lahir,
seorang anak tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa, dan segala yang akan
terjadi merupakan tanggung jawab penuh dari pendidiknya, entah guru atau
orangtuanya. Tabula rasa juga tidak mengakui adanya kemampuan awal atau bakat
awal dan diwariskan dari orangtuanya.
Berdasarkan
teori tabula rasa ini, sebelum anak-anak mengenyam bangku sekolah dan bertemu
dengan guru, orangtualah yang sepenuhnya bertanggungjawab terhadap apa yang
akan diajarkan kepada anak. Segala yang diajarkan oleh orang tua, itulah
ilmunya. Jika ilmu tersebut berasal dari bentukan dan didikan oragtuanya maka
sikap anak tersebut juga akan selaras dengan apa yang diajarkan orang tua. Jika orangtua mengajarkan tentang kebaikan
dan kasih sayang, maka terisilah pemahaman
siswa tentang kebaikan. Sebaliknya jika anak tersebut berisi dengan hal-hal
yang kurang baik, maka kelakuannya juga tidak akan menjadi baik. Locke mengatakan bahwa orang tua dan
pembimbing harus menjadi contoh dan memperlihatkan sifat-sifat dan kepribadian
yang baik, yang meliputi kebaikan, pendidikan yang baik, dan hal-hal yang
dihormati serta dapat ditiru oleh anak-anak. Seorang anak yang mencoba untuk
mencontoh hal-hal baik tersebut harus diberi pujian, didorong untuk melakukan
hal yang baik kembali, diperbaiki, ditegur, atau dibimbing jika perlu tetapi
jangan dibebani dengan kritik yang berlebihan dan tidak berguna (mudhokhi,
2008). Locke juga menganjurkan agar tidak mengisi kepala anak-anak dengan
“sampah” atau hal-hal yang tidak berguna karena mereka tidak akan memikirkan
hal-hal tersebut lagi selama hidupnya. Pendidikan harus bersifat praktis,
berguna, memiliki makna, menyenangkan dan anak didik harus dihormati dan
diperlakukan seperti orang dewasa. Selain itu, siswa juga diberi kesempatan
untuk mengeluarkan pendapatnya, belajar dari pengalaman yang nantinya dia akan
memperoleh berbagai kemampuan yang berguna bagi hidupnya. Tabula rasa John
Locke mengatakan bahwa lebih baik belajar dari pengalaman dibandingkan belajar
dari buku-buku, namun belajar dari buku juga tidak serta merta dilupakan begitu
saja. Dengan pengalaman yang telah dia alami dan ada dalam hidupnya, maka kelak
individu tersebut dapat menentukan langkah hidup selanjutnya dan memilih apa
yang terbaik untuk dirinya.
C. Tabula rasa dan Pembelajaran
Matematika
Jiwa seseorang dianggap
sebagai kertas kosong, itulah apa yang digambarkan di dalam konsep tabula rasa.
Kertas itu nantinya aka diisi dengan segala hal dan menjadikannya berwarna.
Tabula rasa ini juga telah mempunyai pengaruh di dalam dunia pendidikan.
Terkadang dalam suatu pembelajaran, siswa diibaratkan dengan kertas putih
dengan pemahaman yang masih kosong, dan kemudian guru bertugas untuk mengisinya
dengan materi-materi yang akan membuat lembaran kosong itu terisi dengan
materi-materi yang diberikan guru. Pengetahuan yang dimiliki siswa tergantung
dari apa yang diberikan guru. Hal yang
diberikan guru akan menjadi pengalaman yang berguna bagi siswa dan akan
digunakan kembali dalam membentuk pengetahuan yang akan datang.
Tabula rasa erat
kaitannya dengan pengalaman, dan menurut analisis penulis, pengalaman juga
mempunyai peran yang penting dalam pembentukan pengetahuan manusia. Seorang
siswa juga dapat menggunakan pengalaman belajarnya yang lalu untuk
mengembangkan pemikirannya yang baru. Dengan belajar, siswa aka memperoleh
pengalaman berharga tentang apa yang telah dipelajari. Namun belum tentu juga
dengan pembelajaran yang telah dilakukan, siswa akan mempunyai pengalaman yang
berharga. Pengalaman siswa akan terbentuk jika pembelajaran itu bermakna
baginya dan berkesan sehingga tidak akan mudah untuk dilupakan.
Guru sebagai
fasilitator dalam pembelajaran hendaknya dapat memberikan fasilitas yang dapat
digunakan oleh siswa untuk membentuk pengetahuannya. Fasilitas yang diberikan
adalah fasilitas dalam bentuk model pembelajaran yang digunakan guru. Guru
dapat mengorganisir model pembelajaran yang
cocok, yang dapat memberikan pengalaman belajar bagi siswa dan juga pas
dengan kemampuan siswa untuk melakukannya. Dalam hal ini, guru dapat
menggunakan pendekatan inkuiri (penemuan) dimana dengan menemukan, pengetahuan
akan bertahan lama di dalam pikiran siswa. Pengalaman yang dia alami di
pembelajaran ini akan diingatnya terus dan digunakan sebagai bekal dalam
memahami materi lain yang berhubungan. Jika pembelajaran yang dilakukan dan
dialami tidak memberikan manfaat dan pengalaman yang baik, maka sama halnya
pemelajaran yang dilakukan tidak memiliki makna yang baik dan akan mudah untuk
dilupakan siswa. Jika selama mengalami pembelajaran siswa hanya masuk telinga
kanan dan keluar telinga kiri, maka sama halnya pembelajaran itu menjadi kurang
bermakna.
Berdasarkan Ebbut dan
Straker dalam (Marsigit, 2011), matematika adalah sebuah kegiatan yang
hakekatnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Matematika
adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan.
Kegiatan penemusuran
pola dan hubungan dapat dilakukan dengan memberian kesempatan kepada siswa
untuk melakukan kegiatan penemuan dan juga penyelidikan pola-pola untuk
menentukan hubungan serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan
penyelidikan dan percobaan dengan menggunakan tberbagai cara. Dalam hal ini,
pengalaman memegang peranan penting dalam membantu siswa menentukan dan
menemukan adanya pola yang terjadi. Ilmu yang telah diperoleh di masa lampau
dapat dijadikan sebagai dasar dalam memahami materi yang akan datang.
2. Matematika
adalah kreatifitas yang memerlukan imajinasi, intuisi, dan penemuan.
Imajinasi,
intuisi, dan penemuan merupakan hal-hal yang digunakan dalam menghadapi
matematika. Dalam hal ini, guru diharapkan dapat mendorong inisiatif siswa dan juga mendorong rasa ingin tahu.
Menyelesaikan soal matematika juga membutuhkan intuisi. Intuisi dibutuhkan
untuk mengetahui langkah apa yang kira-kita tepat digunakan untuk menyelesaikan
soal tersebut. menurut analisis penulis, intuisi yang kita punya dapat
memberikan penilaian apakah proses yang kita lakukan sudah tepat atau belum.
Intuisi tidak memiliki pondamen, maka kita tidak tahu kapan dimulainya susunan
intuisi dalam pikiran kita.
3. Matematika
adalah kegiatan problem solving.
Matematika
adalah kegiatan problem solving. Dengan demikian, hal ini dapat dilakukan
dengan merangsang siswa untuk melakukan pemecahan masalah matematika dengan
menggunakan caranya sendiri dan tentunya dengan menggunakan bantuan dari guru.
4. Matematika
merupakan alat komunikasi.
Matematika
adalah alat komunikasi dan pandangan ini daat dilakukan dengan mengenal sifat
matematika, mendorong siswa membuat conth matematika, merangsang siswa
menjelaskan sifat matematika, dan juga mendorong siswa membicarakan persoalan
matematika.
Dengan demikian, pembelajaran
matematika dengan kegiatan penbelajaran yang berpusat pada siswa (student centered).
Pengalaman merupakan
hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan pengetahuan, namun menurut
analisis penulis, setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan kemampuan
awal di dalam pikirannya sehingga tidak dapat dikatakan jiwa manusia berupa
kertas putih yang kosong. Saya percaya bahwa setiap manusia telah mendapatkan
warisan yang dibawanya sejak lahir. Setiap manusia mempunyai kecederunan khas
sebagai warisan yang dibawanya sejak lahir yang akan mempengaruhi
kepribadiannya pada waktu dewasa. Akan tetapi, warisan genetik hanya menentukan
kepribadian setiap orang. Tumbuh dan bekembangnya potensi tidak seperti garis
lurus, namun ada potensi terjadi penyimpangan. Faktor genetik memang
mempengaruhi keprbadian, namun tidak bersifat mutlak, masih banyak faktor
–faktor lainnya. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang dijelaskan di dalam
prinsip tabula rasa. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa tabulrasa
meyakini pembentukan karakter melalui apa yang diberikan oleh dunia luar, dan
tidak meyakini adanya kemampuan awal yang
merupakan warisan dari kedua orang tuanya karena setiap jiwa terlahir
sebagai kertas putih.
Sesuai dengan apa yang
telah disampaikan di atas, bahwa matematika adalah kegiatan penelusuran pola
dan hubungan, matematika adalah kegiatan yang memerlukan imajinasi, intuisi,
dan penemuan, matematika adalah kegiatan problem solving, dan matematika adalah
komunikasi. Matematika jelas memerlukan intuisi, dan kita tidak pernah tahu
kapan berlangsungnya intuisi di dalam pikiran kita, entah sejak lahir, atau
kapan. Intuisi tidak memiliki pondamen, sehingga kita tidak pernah tahu kapan
ada dan dimulainya di dalam pikiran kita. Dengan demikian, tidak benar secara
sepenuhnya jika kita mengatakan bahwa
manusia lahir sebagai kertas putih yang kosong. Teori tabula rasa John Locke
juga ternyata tidak mengakui adanya intuisi, karena dia kemampuan yang ada di
dalam diri manusia adalah goresan pena dari para pengisinya.
Saya sempat berfikir,
bagaimana guru secara terus menerus menganggap siswa sebagai lembaran kosong
yang harus diisi dengan pengetahuan-pengetahuan? Bagaimana jika suatu saat
bejana itu penuh dan pecah? Bagaimana jika pengetahuan yang dimiliki guru tidak
cukup memadai dan bukankah sumber pembelajaran itu tidak selamanya berasal dari
guru, mengingat posisi guru hanyalah sebagai fasilitator. Siswa yang satu juga
bisa menjadi sumber belajar bagi siswa yang lain. Jika menemukan suatu
kesulitan, tidak harus seorang siswa itu bertanya langsung kepada guru, tetapi
bisa juga bertanya kepada teman yang lain terlebih dahulu dan terkadang
penjelasan teman lebih mudah dipahami daripada penjelasan guru sendiri. Banyak buku pelajaran, LKS dan sumber belajar
dan media pembelajaran yang dapat digunakan sebagai sumber pembelajaran yang
baik. Semakin banyak sumber yang ada, maka semakin banyak hal baru yang dapat
diperoleh. Guru bukanlah satu-satunya sumber pembelajaran yang tersedia di
kelas. Pembelajaran akan menjadi aktif dan hidup jika semua elemen yang ada di
dalamnya ikut berperan aktif.
Tabula rasa ini membawa
pengaruh yang cukup besar dalam sistem pembelajaran konvensional. Dalam
praktiknya di dalam pembelajaran konvensional, guru terlalu terlihat aktif di
dalam pembelajaran. Dalam hal ini, siswa memang tidak pasif secara mutlak,
tetapi aktivitas siswa yang timbul sangat sedikit sekali, yaitu hanya terbatas
pada mendengarkan, mencatat, dan menjawab pertanyaan dari guru. Kegiatan para
siswa hanya terbatas terhadap apa yang diperintahkan guru dan cara yang
ditetapkan guru.
Tabula rasa tidak
selamanya merupakan paham yang salah, karena merupakan pola pikir yang masih
konvesional. Walaupun terdapat paham yang sudah tidak sesuai dengan
perkembangan pendidikan masa kini, namun pembelajaran dengan berdasarkan
pengalaman masih dapat diterapkan dengan baik. Pembelajaran yang bermakna
memang diperlukan di dalam pembelajaran. Pembelajaran yang bermakna akan
tinggal dengan lama di dalam pikiran siswa. Pikiran siswa bukan sepenuhnya
kertas kosong yang harus diisi, melainkan kertas yang sudah terisi dengan
pengatahuan awal yang berbeda-beda, dan dengan pembelajaran akan menambah
warna-warna yang terdapat di dalam kertas tersebut.
Tabula rasa erat dengan
pengalaman, dan pengalaman itu membantu seseorang untuk memahami pengetahuan
yang baru. Jika hal ini dikaitkan dengan konsep tabula rasa yang menganggap
jiwa siswa bagikan kertas kosong, bagaimana dengan pengetahuan awal yang sudah
diterima pada kelas sebelumnya. Sudah tentu pasti mereka telah mempunyai
pengalaman belajar di kelas sebelumnya. Dengan demikian, tampaknya tabula rasa
John Locke mengalami sedikit kontradiksi di dalam penerapannya di dalam dunia
pendidikan.
BAB III
KESIMPULAN
Tabula rasa menganngap
pikiran manusia bagaikan kertas putih yang nantinya akan diisi dan menjadi
berwarna. Tabula rasa adalah salah satu
cabang dari aliran empirisme yang mendasarkan teorinya berdasarkan pengalaman.
Dengan demikian, tabula rasa erat dengan pengalaman. Jika dikaitkan dengan
proses pembelajaran di dalam kelas, pengalaman belajar juga mengambil peran
penting dalam terbentuknya pemahaman siswa. Pembelajaran yang baik juga
pembelajaran yang memberikan pengalaman bagi siswa. Pengalaman yang baik akan
menjadikan materi yang dipelajari juga akan bertahan lama dalam diri siswa.
Tabula rasa tidak dapat
dipercaya secara penuh jika diterapkan di dalam pembelajaran, karena tabula rasa
masih memegang konsep bahwa pikiran siswa adalah lembaran kosong yang dapat
diisi dengan materi-materi dari guru. Dalam hal ini, peran guru menjadi lebih
aktif di kelas, dan siswa hanya mendengarkan, mencatat, dan menjawab pertanyaan
dari guru. Peran siswa menjadi lebih sedikit dan tidak menjadi aktor di dalam
pembelajaran. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menjadi aktor di dalam pembelajaran dan
diharapkan pembelajaran itu akan membawa sesuatu yang bermakna.
Terdapat sifat yang
masih kontradiksi dalam konsep tabula rasa. Tabula rasa mementingkan pengalaman
sebagai faktor pembentuk dari pengetahuan siswa. Jika dihubungkan dengan tabula
rasa dimana pikiran siswa adalah kertas putih kosong, bagaimana dengan
pengalaman-pengalaman yang sudah diterima sebelumnya?
DAFTAR
PUSTAKA
Abimanyu,
Soli. 2007. Metode Pembelajaran yang
Lebih Berpusat Pada Guru.
Mastrianni,
Steve. 2012. Tabula Rasa – Reductio Ad
Absurdum. Diakses dari
Susanto. 2011. Filsafat
Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis.
Jakarta : Bumi Aksara.
http://id.wikipedia.org/wiki/John_Locke
diakses pada tanggal 26 Desember 2012